Melihat betapa mudahnya Cakra membagikan nomor ponselnya tidak membuatku merasa menyesal karena tidak langsung memberikannya pada Sofia. Aku tetap pada pendirianku bahwa aku tidak boleh sembarangan memberikan informasi pribadi—seperti nomor ponsel—pada orang lain. Hal yang kusesalkan adalah hal lain.
Sofia mulai menceritakan hal ini kepada semua orang. Bilang pada setiap orang kalau dia akhirnya saling berkirim pesan pada Cakra dan betapa pelitnya aku. Di versi yang lain, aku menjadi orang yang "sok melindungi" atau justru "menginginkan Cakra". Bayangkan! Aku diterpa rumor hebat soal menjadi manusia tidak setara yang menginginkan Cakra.
Dasar Cakra bodoh. Si tukang tidur menyebalkan!
Sudah lebih dari satu minggu aku menolak menyapa atau menghiraukan Cakra. Ketika Belinda dan yang lainnya datang, aku akan langsung menjauh dari laki-laki itu. Kupastikan kami berada jauh. Sudut ke sudut kalau perlu. Aku merasa kesal setiap kali melihat wajah mengantuk Cakra.
Pertama, aku memang tidak pernah benar-benar akrab dengan laki-laki itu. Kami memang berada di lingkar pertemanan yang sama, tapi kami tidak banyak bicara. Dalam setahun terakhir, mungkin hanya satu atau dua kali aku bicara padanya. Siapa yang suka mengajak bicara manusia ngantukan seperti dia? Tidak ditinggal tidur olehnya saja sudah bagus.
Kedua, Sofia gembar-gembor kalau dia chattingan intens dengan Cakra. Lewat chat yang dia pamerkan secara berkala, Sofia langsung membuat klaim kalau dia sangat dekat dengan Cakra. Ketika Cakra masuk ke kelasku, Sofia akan menyapanya dengan sangat girang. Cakra akan membalas sekadarnya, tapi balasan kecil itu sudah "mengonfirmasi" kalau Sofia memang dekat dengan Cakra.
Ketiga, aku berada di kelas yang sama dengan Sofia. Itu artinya aku adalah sasaran langsung. Mangsa empuk. Samsak berjalan. Sofia dan teman-temannya akan selalu melihatku dengan tatapan tidak suka. Menggangguku dengan bisikan-bisikan yang terdengar jelas di telinga.
Duh. Ini semua gara-gara Cakra.
Aku sedang makan siang di kantin. Mengunyah jenis pasta dengan bentuk seperti pita. Cakra datang dengan tiga susu kotak dan langsung duduk di sampingku. Aku melirik, ingin langsung pindah tempat duduk, tapi Cakra menahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...