Ibu kembali menasihatiku supaya tidak berteman dengan Belinda dan teman-temannya. Kali ini, nasihatnya jauh lebih jelas. Ibu menjelaskan dengan suara yang tegas dan terus-terang. Ternyata, ada alasan yang amat kuat kenapa aku tidak boleh berteman dengan Belinda dan yang lainnya.
"Mereka anak-anak orang kaya, Diah," kata Ibu. "Mereka tinggal di perumahan Citra. Lokasi rumah-rumah orang kaya. Nggak sama kayak kita. Kalau kamu berteman sama mereka, kamu bakal kesusahan menyesuaikan pergaulan sama mereka."
Ternyata, dunia yang berbeda di balik tembok itu adalah dunia yang dipenuhi dengan uang. Di balik tembok tinggi dengan kaca dan kawat berduri, ada perumahan elite orang-orang kaya dan orang-orang penting. Kata Ibu, bahkan ada artis terkenal yang tinggal di perumahan Citra—perumahan yang hanya berbatasan tembok dengan rumahku.
"Carilah teman yang lain. Kalau kamu berteman sama mereka, kamu nggak akan tahu—" Ibu mengusap wajah. Kesulitan tecermin di ekspresinya. "Begini deh. Ibu sama Ayah nggak akan mampu membelikan kamu barang atau mainan yang sama kayak yang mereka punya. Kamu mau berteman sama orang-orang yang kamu nggak nyambung kalau ngobrol sama mereka? Nanti mereka punya barang mewah dan kamu nggak punya apa-apa? Mereka sekolah di sekolahan mahal. Mereka liburan ke luar negeri. Kamu nggak punya semua itu, Diah. Ibu sama Ayah nggak mampu untuk memberikan kamu hal-hal kayak gitu. Kalau kamu berteman sama mereka dengan keadaan kayak gini, apa kamu nggak merasa malu?"
Malam itu terasa panjang dengan celotehan Ibu yang seolah tanpa akhir. Aku merasa Ibu marah dan sedih sekaligus. Jelas sekali terpampang di wajahnya. Kekhawatiran yang tanpa akhir. Ada terlalu banyak perbedaan yang dihasilkan dari tembok yang berlubang itu.
"Kamu tahu? Pabrik tempat Ayah dan Ibu bekerja itu cuma salah satu usaha orang tua anak laki-laki yang namanya Julian itu. Ayah dan Ibu bekerja di sana, Diah. Orang tua Julian pemiliknya. Kalau kamu berteman sama dia, entar kalau ada apa-apa—"
"Iya. Diah paham kok," balasku cepat.
Langit sudah gelap. Sejak sore, begitu pulang dari pabrik, semua aktivitas dilakukan Ibu sambil mengomel. Bahkan makan malam dan mencuci piring pun dilakukan sambil menjelaskan alasan-alasan kenapa aku tidak boleh berteman dengan Belinda dan yang lainnya. Aku duduk rapi, mendengarkan apa kata Ibu sambil mengatur isi kepala.
Intinya cuma satu; Ibu takut aku akan sakit hati atau justru minder kalau berteman dengan Belinda dan teman-temannya. Perbedaan besar hanya akan membuat hubungan jadi aneh. Itu saja.
Lirikan Ibu di akhir penuh dengan rasa bersalah. "Kamu ... paham, kan?"
Aku bangkit, berjalan menuju kamar. "Paham, Bu. Ibu cuma nggak mau Diah sakit hati karena berteman sama mereka, kan? Kalau Ibu larang, Diah nggak akan berteman sama mereka lagi kok."
Senyuman kecil terbit di bibir Ibu. "Benar? Nggak bohong?"
Aku hampir masuk kamar. Menyibak tirai transparan. "Tapi kalau mereka datang lagi, bagaimana? Apa Diah usir saja?"
"Jangan!" Ibu membantah cepat. Wajahnya pucat. Mungkin Ibu langsung membayangkan aku mengusir anak-anak orang kaya itu. Ibu menelan ludah. "Kalau mereka datang, ya mau bagaimana lagi? Tapi kamu nggak perlu banyak bicara sama mereka. Oke?"
Aku mengangguk. Mengukir rencana Ibu di kepala. "Oke."
"Kalau kamu nggak banyak bicara untuk menanggapi mereka, nanti mereka juga bosan. Pasti mereka tidak akan ke sini lagi."
Ibu menyimpulkan senyum, berpikir kalau rencananya sudah sempurna.
***
Rencana Ibu gagal total. Dengan orang seceria Belinda yang bisa menyulap keadaan apa pun menjadi ceria dan penuh cerita, tentu saja aku tidak perlu repor-repot banyak bicara. Belinda duduk di sofa, langsung menceritakan apa yang terjadi di kehidupannya selama satu minggu belakangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...