Manda dan Aku

7 4 0
                                    

Kedua orang tuaku tidak setuju aku bekerja. Sepertinya mereka lebih suka aku menyimpan baik-baik ijazah summa cumlaude-ku dan tetap berada di rumah. Ibu dengan tegas melarangku untuk melamar pekerjaan.

Aku membantah Ibu. Menolak hidup hanya dengan berdiam diri di dalam atap rumah orang tua begitu saja. Aku baru saja kembali dari interviu pekerjaan yang lumayan dekat dari rumah. Pakaian kantor dengan rok sepan selutut berwarna abu-abu terasa pas. Aku melepaskan kardigan saat masuk ke miniswalayan.

Di saat itulah aku bertemu dengan Manda.

            Di saat itulah aku bertemu dengan Manda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manda berubah banyak. Kalau bukan karena sepasang matanya, aku tidak akan mengenalinya. Di luar miniswalayan, sebuah mobil mini cooper merah terparkir rapi. Aku menyingkir, ingin memberikan jalan pada Manda, tapi perempuan itu malah bergeming.

Dia diam, menatapku lekat-lekat.

Dengan pintu yang dibuka setengah dan kasir miniswalayan yang menyambut dengan SPO, aku lekas masuk. Rencanaku hanya membeli kopi. Mungkin dua atau tiga kaleng. Aku menuju ke kulkas besar yang ada di sisi lain rak, menyadari ada yang mengikutiku dari belakang.

 Aku menuju ke kulkas besar yang ada di sisi lain rak, menyadari ada yang mengikutiku dari belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manda tidak pergi.

Aku pikir dia mungkin ingin membeli sesuatu yang lain. Mungkin kopi dengan jenis yang sama, tapi sepertinya tidak. Dia tidak menyentuh kulkas. Cuma berdiri satu langkah di belakangku. Dia tetap di sana saat aku berbelok di dua rak makanan ringan dan membayar di kasir.

Mungkin dia akan pergi seiring aku pergi.

Pintu miniswalayan tertutup. Udara panas di luar berbanding terbalik dengan udara dingin di dalam miniswalayan. Manda memanggil, menyebut namaku keras-keras.

"Kak Diah."

Lalu, dia diam. Seolah dia takjub dengan namaku yang bisa keluar dari mulutnya.

Aku menoleh. "Apa?"

"Aku ... mau bicara sebentar."

"Di mana?"

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang