Tidak, Belinda tidak mendonorkan ginjalnya pada Arsen. Meskipun dia merelakan ginjalnya, kedua orang tuanya melarangnya untuk mendonorkan ginjalnya itu. Kedua orang tua Arsen pun tidak setuju. Mereka hanya menerima niat baik Belinda dan makin lembut menatap perempuan itu. Arsen mendapatkan donor ginjal kurang dari dua hari setelah kami berkunjung.
Dalam tiga minggu, Arsen kembali ke sekolah. Dia menghabiskan empat hari pertama di kelas kosong, mengerjakan ujian diawasi oleh seorang guru. Ujian tengah semester ganjil Arsen adalah serentetan ujian susulan yang melelahkan.
Hubungan antara Arsen dan Belinda terasa makin nyata. Aku melihat bagaimana lekatnya Arsen menatap Belinda, lama dan penuh dengan kasih sayang. Belinda menundukkan wajah. Mukanya sering memerah akhir-akhir ini.
Julian menghampiriku. Satu tangannya hinggap di bahuku. "Perhatikan aku."
Aku mengangkat muka, melihat Julian. "Apa?"
"Mau jadi pacarku?"
Kukira kami sudah selesai dengan candaan konyol itu. Sudah enam tahun dan candaan itu keburu basi. Aku mengenyahkan tangan Julian di bahuku, menarik telinganya pelan. Julian mengikuti arah ke mana telinganya ditarik.
"Apa ini artinya ditolak?" tanya Julian polos.
Aku terkekeh, melepaskan telinga Julian. "Begitulah."
"Aku kurang apa?"
"Kurang waras."
Cakra datang dari sudut, memberikanku satu botol minuman. Aku hampir menerimanya, tapi Julian keburu menyambarnya. Dia menghabiskan minuman—yang seharusnya jadi punyaku—dalam empat tegukan besar. Cakra menatap tajam Julian. Aku juga menyipitkan mata. Julian mengangkat bahu. "Nanti aku ganti," katanya.
Persahabatan ternyata berupa hal-hal kecil. Hubungan-hubungan kecil dan cerita-cerita kecil. Waktu-waktu kecil dan sempit yang dimanfaatkan bersama adalah pembentuk hubungan. Setelah satu semester di SMA, aku sadar kalau aku tidak banyak mengetahui teman-teman di kelasku selain dari nama mereka.
Oh. Mungkin Gritta. Itu pun karena dia duduk persis di sebelahku.
Setiap kali ada jeda, maka Belinda akan menjemputku. Kami makan siang dan menghabiskan waktu di pandopo sekolah. Di musim ujian, kami akan belajar bersama di perpustakaan. Belinda bahkan tidak segan-segan melambaikan tangan saat berjalan di depan pintu kelasku setelah kembali dari kamar mandi.
Belinda mulai aneh tingkahnya ketika memasuki semester dua. Dia jadi pendiam dan banyak bengong. Kadang dia mencuri pandang pada Arsen, tapi kemudian sibuk sendiri. Di wajah putih dengan ekspresi tegang yang sewaktu-waktu terlihat dari Belinda, aku mulai khawatir apa yang terjadi pada perempuan itu.
Belinda mendatangi kelasku sepulang sekolah. "Diah," panggilnya. "Apa kau bisa menemani aku?"
Aku memasukkan buku catatan ke dalam tas. "Ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Genç KurguBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...