Kami kembali menguping. Berdiri bersusun di sisi tembok belakang taman sekolah. Jantungku berdebar kencang, seolah akan meledak sebentar lagi. Telingaku tidak menangkap apa-apa saking kuatnya debaran jantungku. Yang bisa aku rasakan hanya gelisah.
Juwanda berjongkok di dekat kakiku. Kepalanya melongok sedikit dari sisi tembok.
Belinda berbisik, "Bagaimana?"
"Sabar," balas Juwanda.
Arsen menahan Belinda agar tidak melongok terlalu kentara. Cakra ada di ujung, menguap, menutup matanya dalam keadaan berdiri bersandar di tembok.
Cuma ada satu orang yang tidak ada di sini. Dialah yang sedang kami incar pembicaraannya; Julian.
Semester dua hampir berakhir. Tinggal satu bulan lagi menuju ujian kenaikan kelas. Aku kira semuanya akan berjalan normal seperti biasanya. Namun hari ini, setelah jam makan siang, kami berkumpul di gazebo biasa. Di saat itulah seorang perempuan muncul. Dia cantik, berani dan anggun. Dia menyapa dengan sangat sopan dan langsung bertanya pada kami di mana Julian.
Perempuan itu bernama Fifi. Murid kelas satu. Terkenal. Tidak hanya di sekolah, tapi juga terkenal di negara ini. Wajahnya ada di billboard iklan. Seorang model dan aktris muda pendatang baru. Fifi dengan jelas meminta waktu Julian untuk bertemu setelah pulang sekolah.
Oleh karena itu, di sinilah kami. Menguping pembicaraan antara Julian dan Fifi.
"Apa menurutmu dia akan menerimanya?" bisik Juwanda. Belinda melotot, lalu menyenggol Juwanda dengan kakinya. Hampir saja Juwanda terdorong ke depan.
"Jangan bicara sembarangan!" bisik Belinda memperingatkan.
Kami semua tahu apa yang terjadi. Fifi menyukai Julian dan dia sudah memberanikan diri untuk mengungkapkannya hari ini. Sekarang, terserah Julian untuk menerimanya atau tidak.
Ya. Terserah pada Julian.
Sepuluh menit waktu yang kami habiskan untuk menguping pembicaraan Julian dan Fifi adalah sepuluh menit terlama yang kurasakan seumur hidup. Seluruh keputusan, harapan dan penyesalan menyerap ke dalam diriku. Aku menjadi seperti spons yang penuh air. Berat, lembek dan kuyup.
Satu sisi diriku mengutuk. Sisi lain sok bijak, bersyukur.
Aku menunduk dalam-dalam, menyembunyikan muka. Napasku terasa berat. Telingaku sudah tidak lagi bisa mendengar apa yang dibicarakan. Aku meninggalkan Belinda dan yang lainnya begitu saja di sisi tembok taman belakang sekolah. Pergi tanpa mengatakan apa pun.
***
Aku tidak menyangka kalau aku akan menangis karena ini. Tapi, itulah kenyataannya.
Begitu pulang sekolah, aku masuk kamar. Aku bilang pada Ibu kalau aku masih kenyang dan menolak makan malam. Mulai dari malam masih muda, aku berbaring di kasur. Air mataku jatuh, menetes begitu saja. Api di dalam diriku menyala hebat dan membakar semua kewarasan yang tersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Подростковая литератураBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...