Julian tidak rewel soal aku yang membawanya ke sebuah kedai mi ayam—walaupun ini adalah kedai mi ayam paling keren yang aku tahu, aku yakin Julian masih tidak terbiasa. Dia duduk dengan punggung tegak di kursi kayu tanpa sandaran. Meja kayu yang sudah sompel di ujung-ujung dengan triplek yang mengelupas. Ada saus, kecap dan mangkuk cabai di sebelah tempat sendok dan garpu.
Mas-mas berkumis tipis dengan celemek berwarna merah jambu mengantarkan dua mangkuk mi berkuah panas langsung ke hadapan kami. Aku mengambil sendok dan garpu, mengelapnya dengan tisu dan memberikannya pada Julian.
Julian mengambilnya dengan senyum lebar. "Terima kasih," katanya.
Aku menanggapinya dengan anggukan.
Aku mengamati gerak-gerik Julian. Dia memang sudah tidak marah, tapi kami belum membicarakan apa yang seharusnya kami bicarakan. Masalah itu tidak bisa larut begitu saja tanpa dibicarakan.
Pertama, sesuai kata Manda, kami tetap harus pergi. Kedua, kecelakaan itu tetap akan terjadi. Ketiga, aku harus memastikan kalau kami akan baik-baik saja.
Satu bulan belakangan aku tidak bisa berpikir soal bepergian atau kemungkinan kecelakaan. Julian membuatku tidak bisa berpikir lurus. Kemarahannya sejak pertemuan terakhirku dengan Manda di taman bermain kompleks perumahan benar-benar membuatku kacau. Julian yang saat itu sedang bermain ayunan langsung menghentikan ayunannya. Dia menatapku dengan sepasang mata yang kecewa, terluka.
Aku ingat jelas apa yang dikatakan Julian hari itu.
"Diah, kau ini sedang bicara apa? Kau mau aku melakukan apa?"
"Kau sudah mendengarnya tadi."
"Kau memintaku untuk mengabaikanmu jika sesuatu terjadi? Seandainya kau celaka? Apa kau memintaku untuk menerima takdir dan membiarkanmu begitu saja?" Julian bangkit, berdiri di hadapanku. Sepasang matanya masih nanar, penuh dengan emosi yang hanya sampai di ujung lidah. "Apa kau pikir aku bisa melakukannya? Apa kau tidak percaya padaku?"
Lalu, dia pergi.
Rasa-rasanya aku tidak ingin mengingatnya lagi. Semua campur aduk hari itu.
Julian sedang mengalami brain freeze di hadapanku sekarang. Wajahnya kusut.
Kami berpindah dari vendor mi ayam ke vendor es krim. Duduk di kursi berjajar dengan satu meja kecil yang cukup berjarak dengan meja-meja lain. Julian memindahkan kursi, memilih duduk di depanku.
Aku terkekeh, melihat perubahan cepat di wajahnya. "Apa kau baik-baik saja?"
Julian mengerjap. "Ya. Begitulah."
"Kau yakin?"
Julian mengangguk pelan, memaksakan keyakinan diri yang goyah oleh brain freeze barusan. "Super duper yakin," balasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Подростковая литератураBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...