Aku berada di rumah sakit selama enam bulan, lalu pulang dan menjalani terapi berkala selama lima bulan. Aku tidak masuk sekolah selama satu tahun penuh dan aku sudah menghabiskan beberapa bulan berjalan dengan kruk.
Ternyata, hari esok selalu datang.
Waktu tidak lagi membeku semenjak hari itu.
Julian dan Belinda menjadi siswa-siswi dengan nilai kelulusan terbaik. Mereka berkesempatan untuk berpidato di acara pelepasan yang diadakan di ballroom sebuah hotel mewah. Aku melihat bagaimana Julian menaiki podium dengan selempang bergengsi benang emas. Selempang yang sama juga dipakai oleh Belinda.
Acara kelulusan itu terasa haru. Belinda menangis karena aku tidak lulus bersama mereka. Julian melepaskan selempangnya, melipatnya dengan rapi. Juwanda bahkan memberikan balon untuk "menghiburku".
Aku tertawa menanggapinya. "Sungguh, aku tidak apa-apa," ucapku.
Mungkin sulit bagi Belinda dan yang lainnya meninggalkanku di sekolah ini. Aku masih harus belajar satu tahun lagi sementara mereka sudah lulus dan akan pergi ke perguruan tinggi. Namun aku justru merasa senang dan bersyukur.
Melihat mereka sekarang membuatku sadar kalau waktu berjalan.
Kami tidak lagi bertahan dalam skema waktu yang membeku. Tidak lagi dengan luka yang sama.
"Aku sedih karena kau tidak lulus hari ini, Diah." Belinda menyeka air matanya dengan tisu. "Seharusnya kau ikut ujian saja, biar kita semua lulus bareng-bareng!"
Aku menolaknya. Berkata tegas, "Aku masih mau bertahan di sekolah. Menikmati masa SMA-ku."
"Tapi itu artinya kau lulus tahun depan!" balas Belinda.
Aku terkekeh, mengangguk-angguk. "Aku tahu. Lagi pula, kalian akan tetap pergi dari negara ini untuk kuliah. Aku tetap di sini, jadi sekarang atau satu tahun lagi itu sama saja buatku."
Belinda cegukan mendengarnya. Mereka semua saling tatap.
Aku tahu mereka tidak akan tinggal di negara ini untuk kuliah. Setidaknya, mereka akan berpencar hingga ke ujung-ujung benua. Belinda akan belajar di Italia. Arsen akan pergi ke Swiss. Juwanda akan pergi ke Inggris. Cakra dan Julian akan pergi ke dua negara bagian Amerika yang berbeda. Cepat atau lambat, akulah yang akan tetap tinggal di negara ini. Buat apa aku cepat-cepat lulus?
Belinda memegang tanganku. Dia menelan ludah. Air matanya berlinang. "Aku akan sering pulang," katanya.
Aku mengangguk. Merasa haru menyeruak di rongga dada. "Aku akan menunggumu pulang."
Juwanda menyeka air mata, merangkulku akrab. "Jangan khawatir, Diah. Aku juga akan pulang setiap liburan."
Cakra mengangguk setuju. Arsen tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...