Julian menatap cokelat di tanganku. "Aku bisa belikan yang lebih mahal," katanya.
Aku mematahkan ujung cokelat, menyumpalnya ke mulut Julian. "Tidak perlu. Terima kasih. Tapi mungkin kau bisa membayar operasi ginjalku kalau ginjalku bermasalah setelah ini. Kalau harga ginjal terlalu mahal, kau berikan satu ginjalmu untukku."
Kami tidak berada di kantin. Kami berada di gazebo taman sekolah. Semua orang ada di sini. Belinda mengamatiku dengan tatapan khawatir. "Kau baik-baik saja, Diah?"
"Perut bagian bawah dan pinggangku beberapa kali terantuk ujung meja gara-gara Julian," jawabku jujur. Di dalam hati aku berharap Belinda memarahi Julian.
Belinda melakukannya. Dia memelototi Julian. "Apa yang kau lakukan, hah?!"
Julian meringis. "Aku sudah menyesal, oke? Sejak pertama kali Diah terantuk meja, aku sudah menyesal. Tapi justru Diah ngotot yang melanjutkan permainannya. Dia yang keras kepala."
"Aku tidak mungkin berhenti di tengah setelah terantuk satu kali," ucapku. Membela diri dengan cara yang paling halus. Harga diriku harus dipertahankan meskipun dalam permainan konyol.
Julian memutar mata. "Tapi setelah itu kau terantuk lagi tiga kali. Sekarang kau meminta ginjalku."
Aku mengangkat bahu. Membiarkan pembicaraan ini ngalor-ngidul. "Setidaknya aku bisa meminta hal yang berharga darimu sekarang."
"Kau bisa meminta hatiku."
Aku menggeleng tegas. "Satu ginjalmu saja sudah cukup."
Julian mengembuskan napas kesal. "Aku tidak akan memberikanmu ginjalku. Sama sekali tidak. Tidak akan pernah."
"Dasar tidak bertanggung jawab!" Belinda hampir maju menerjang Julian, tapi Arsen menahannya. Akhirnya dia duduk lagi dan mengelus-elus punggungku. "Jangan khawatir, Diah. Kalau sesuatu terjadi pada ginjalmu, aku bersedia mendonorkan ginjalku."
Usia kami enam belas tahun. Tahun pertama SMA yang baru dilalui selama tiga bulan. Tepatnya dua minggu sebelum ujian pertengahan semester ganjil. Kami cuma sekumpulan siswa SMA aneh dan kurang kerjaan membicarakan tentang ginjal di gazebo sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
أدب المراهقينBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...