Aku ingat kalau di semester dua kelas dua SMA, aku pusing memikirkan rencana karir. Dulu aku menghabiskan banyak waktu untuk memilih jalan hidup yang ternyata tidak pernah aku jalani. Cita-cita menjadi diplomat yang berakhir begitu saja.
Juwanda membiarkan rencana karir terletak tak berdaya di atas meja. Mukanya kusut. Selayang pandang di kertas karir miliknya dan aku menemukan apa yang pernah diprotes olehnya. Juwanda menuliskan 'dokter' di kertas itu.
Aku ingat malam di mana Juwanda bilang kalau dia tidak ingin jadi dokter.
Aku berdeham. "Kau mau jadi dokter?"
"Tidak ada pilihan lain," jawab Juwanda. Senyum lebarnya terasa pahit, dipaksakan. "Ayahku bisa marah besar kalau aku tidak menjadi sepertinya. Takdirku sudah ditentukan di hari aku lahir sebagai anak dokter."
"Almarhumah ibumu juga dokter?"
"Ibuku lebih keren lagi," jawab Juwanda. Binar di matanya tidak pernah hilang saat mengingat ibunya. Kebanggaan seorang anak yang abadi. "Ibuku adalah dokter bedah saraf yang terkenal."
Aku percaya apa yang dikatakan Juwanda. Meskipun aku tidak tahu siapa dokter-dokter terkenal di Indonesia, aku yakin ibu Juwanda adalah salah satunya. Dia tidak akan bohong soal itu. Juwanda meraih kertas rencana karir miliknya, membaca ulang.
"Aku rasa mungkin kau bisa jadi seperti ibumu," ucapku. "Menjadi dokter bedah saraf yang terkenal."
"Entahlah, Diah," jawab Juwanda. Kepalanya menengadah, melihat langit-langit kelas. "Aku tidak yakin apakah aku bisa. Semua orang bilang ibuku luar biasa."
"Bukankah itu artinya bagus?" Aku melirik kertas itu sekali lagi. "It's already in your blood. Aku yakin kau bisa melakukannya."
Semenjak permasalahan di masa kecil itu usai, aku tidak pernah benar-benar bicara lagi dengan Juwanda. Aku tidak pernah berkomentar atau memberikannya saran—takut Juwanda akan salah mengartikannya atau aku mengatakan sesuatu yang keterlaluan. Ini adalah kali kedua setelah hari itu.
Juwanda menatapku, tersenyum. "Thanks, Diah."
"Untuk apa?"
"Your kind words."
Juwanda bangkit, meninggalkan kelas dengan langkah ringan. Sudah gilirannya untuk melakukan konsultasi karir. Orang yang terakhir masuk kelas sudah memanggil nama Juwanda dengan lantang, menyuruhnya segera pergi ke ruang bimbingan.
Aku duduk sendiri di pojok kelas, melihat lembar rencana karir milikku yang masih kosong. Aku masih bingung antara harus melanjutkan cita-cita yang kandas atau justru mencari cita-cita baru. Menjadi diplomat dengan motivasi untuk keliling dunia sekarang terdengar begitu kekanakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...