Orang yang Jatuh Cinta

8 3 0
                                    

Aku bersin hebat dua kali sebelum akhirnya Belinda menyerahkan tisu dan menatap tajam Julian. Dia kembali bertingkah seperti mertua galak. Julian sedang duduk di samping Arsen dan Juwanda dengan tablet di tangannya, sedang memamerkan rumah pantai dan berusaha mengganti tujuan bepergian kami.

"Real gentleman tidak akan membuatmu mandi hujan di malam hari, Diah," ujar Belinda. Dia terang-terangan mencari ribut.

            Julian meliriknya, tapi kemudian tidak mengacuhkannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Julian meliriknya, tapi kemudian tidak mengacuhkannya. Presentasi tentang rumah pantai lebih penting. Arsen berusaha menengahi dengan senyum tegas. "Bel, Diah bilang dia cuma flu biasa."

"Flu biasa juga tidak terjadi begitu saja, kan?" Belinda mendumel.

Dia kesal karena dua hal. Pertama, karena aku terkena flu. Kedua, karena tujuan bepergian yang sudah ditetapkan sebelumnya mengalami perubahan. Belinda sepertinya sudah membayangkan air terjun dan vila keluarga Cakra. Namun saat ini Julian sedang berusaha agar kami mengubah tujuan.

"Ayolah, Bel, tujuan kali ini juga tidak buruk." Julian menatapku. "Diah yang bilang kalau dia ingin ke pantai."

Belinda langsung menoleh, memastikan kebenaran dari mulutku secara langsung. "Apa benar kau ingin ke pantai?"

Aku mengangguk setelah menyeka hidung agak keras. Pucuk hidung terasa gatal dan perih. Suaraku serak dan mataku mulai berat, sayu. "Aku kira kau juga suka pantai."

"Aku suka pantai!" sahut Belinda. "Aku cuma tanya saja apa benar kau ingin ke sana. Kalau kau memang mau ke sana, aku tidak keberatan."

Julian melirik semua orang satu per satu. "Jadi," katanya dengan senyum kecil. "Kita ganti tujuan perginya?"

Arsen melirik Belinda yang mengangguk kecil. "Boleh."

"Aku setuju," timpal Juwanda

Tinggal satu orang yang sedang duduk bersandar dengan kaki lurus. Cakra memasang wajah datar. Suaranya yang mahal akhirnya terdengar juga. "Aku tidak keberatan ke mana pun kita pergi," ucapnya.

Dengan begitu, tujuan kami berubah.

Jam istirahat hampir berakhir ketika kami meninggalkan gazebo sekolah. Belinda membantuku ketika tubuhku mulai limbung. Pusing menghantam kepalaku seperti sebuah gada besar. Mataku mulai berkunang-kunang.

"Diah, mungkin sebaiknya kau tidak perlu datang sekolah hari ini. Keadaanmu parah," ucap Belinda. Suaranya keras, membuat semua orang bisa mendengarnya. Julian datang dari depan, membantu mengecek panas tubuhku dengan punggung tangannya.

Dia mengembuskan napas panjang. "Belinda benar, Diah. Seharusnya kau istirahat saja."

"Ujian tinggal satu bulan lagi," sahutku. "Aku tidak bisa membuang-buang waktu. Harus belajar."

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang