Di Balik Jendela

11 3 1
                                    

Ada Julian. Ajaib sekali.

            Begitu melihatnya di balik jendela, jantungku seakan terjun bebas dari tempatnya dan jatuh di perut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu melihatnya di balik jendela, jantungku seakan terjun bebas dari tempatnya dan jatuh di perut. Aku menahan napas. Kakiku lemas. Senyuman Julian lebar, menahan tawa saat dia mengetuk-ngetuk jendela kamarku lagi. Aku membukanya, lupa kalau aku berpikir keras tadi.

"Kenapa kau ada di sini, Julian?" tanyaku pelan, berbisik.

Julian menyeringai. "Aku merindukanmu."

Tanganku terjulur, mencubit pipi Julian. Sekalian memastikan dia hantu atau bukan. Pipi Julian terasa hangat. Dia membiarkanku mencubitnya. Julian bahkan tersenyum makin lebar. Kalau saja tak ada jerjak besi, mungkin Julian bisa melompat masuk ke kamarku.

 Kalau saja tak ada jerjak besi, mungkin Julian bisa melompat masuk ke kamarku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau mau apa?" tanyaku lagi. Akhirnya menarik tangan. Tidak perlu bertanya bagaimana Julian bisa ada di samping rumah. Pagar rumahku yang cuma setinggi satu meter pastilah mudah untuk dilewatinya.

"Apa kau mau ikut piknik besok?"

Akhirnya, suara jangkrik terdengar. Merambat, menyapa di antara sepi. Aku tidak tahu apa yang harus kujawab. Julian masih belum luntur senyumannya.

"Aku akan membawakanmu banyak sekali makanan. Aku menyimpan apel untukmu."

Selain Belinda, rasanya wajar aku bisa bicara panjang dengan Julian. Leluconnya yang ingin menjadi pacarku sejak usia kami sepuluh tahun membuat kami akrab. Aku harus bicara dengannya untuk menolak. Dan, setiap kali aku menolaknya, Julian akan membuka bahan pembicaraan lain. Intinya, kami selalu berbincang walaupun singkat.

Julian pasti melihat keraguan di wajahku, tapi dia tetap mengembangkan senyumannya.

"Aku minta maaf, Diah," kata Julian. Suaranya lembut, hampir seperti angin malam yang sejuk. "Kami semua ingin minta maaf padamu."

Aku menggigit bibir bawah. Menahan tangis yang sudah sampai di pelupuk mata. Setidaknya supaya aku tidak merengek. Air mata jatuh di pipiku. Kali ini, Julian yang mengulurkan tangan lewat jerjak, mengusap air mataku.

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang