Mobil Sedan Paling Mengilap

11 3 3
                                    

Gang buntu ini adalah gang yang kecil. Saking kecilnya, tidak mungkin ada mobil yang bisa masuk ke dalam. Mulut gang menjorok ke dalam dengan turunan yang agak curam. Motor saja harus di-gas secara penuh agar bisa naik ke jalan besar. Kalau saja tidak ada pabrik di sekitar gang buntu ini, maka orang-orang pasti tidak mau menyewa atau mengontrak rumah di sini.

Hari Sabtu, aku melihat ada mobil sedan berwarna abu-abu yang diparkir di sekitar mulut gang. Sopirnya memakai seragam berwarna lemon, bersandar di badan mobil sambil merokok. Aku melewatinya begitu saja, berjalan cepat masuk ke dalam gang.

            Karena rumahku berada di ujung dengan posisi satu garis lurus dari mulut gang, maka aku langsung bisa melihat orang-orang yang berkumpul di rumahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena rumahku berada di ujung dengan posisi satu garis lurus dari mulut gang, maka aku langsung bisa melihat orang-orang yang berkumpul di rumahku. Ada enam orang. Memakai baju yang terlihat bagus. Seperti baju yang kupakai ketika hari raya atau pergi kondangan. Mereka berada tepat di depan rumahku.

"Ini rumahnya, kan? Yang paling dekat sama lubang di tembok," kata salah satu dari mereka. Kepalanya melongok ke sana-sini, melihat sekitar.

"Apa kita ketuk aja pintu rumahnya?" tanya seseorang di antara mereka.

Satu orang menepuk dahi. "Terus pagarnya? Kita buka pagar rumah orang sembarangan?"

Anak paling pendek, paling kecil dengan rok tutu merah muda mulai gelisah. Satu tangannya dipegang oleh anak perempuan satu-satunya di sana. "Kak, mau pipis," rengeknya.

Aku sampai di depan rumah. Keringat membasahi baju pramuka yang kupakai karena berlari-lari dari mulut gang. Topi anyaman pramuka miring di kepalaku. Aku melihat mereka satu per satu. Jantungku berdebar kencang.

"Diah!" ucap Belinda. Dari raut mukanya, dia kelihatan senang sekali melihatku.

Aku justru kikuk menyambutnya. "Belinda," balasku. Setiap pasang mata menatapku heran. Anak laki-laki paling kecil mendekat, memegang lengan baju pramukaku dengan kerutan di dahinya.

"Kenapa kau sekolah di hari Sabtu?" tanya anak laki-laki itu.

Aku balas mengernyit. "Karena masih hari Sabtu, kan?"

"Bukannya semua sekolah libur di hari Sabtu dan Minggu?" tanya dia lagi. Tiga anak laki-laki lain mengangguk, menyetujui apa yang keluar dari mulut laki-laki paling kecil. "Sekolah kami libur."

"Kok bisa libur?" tanyaku. Ikut bingung.

Obrolan itu bisa jadi panjang kalau saja bukan karena tangis Manda yang nyaring karena dia ingin buang air kecil. Aku langsung mengajak mereka masuk, mempersilakan mereka duduk di ruang tamu rumahku yang ternyata lebih sempit dari dugaanku sebelumnya.

***

Belinda bilang mereka datang dengan mobil sedan abu-abu mengilap yang ada di mulut gang. Sopir yang mengantar mereka adalah sopir keluarga Arsen. Mereka pergi atas izin dari Mama dan Papa Arsen pagi ini.

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang