Kita Jujur Saja

13 3 5
                                    

"Berapa usiamu?" tanya Belinda. Dia menatap nanar adiknya yang menatapnya lurus, tanpa ekspresi yang berarti.

            Manda, meskipun tampilannya adalah bocah empat belas tahun, tidak menyembunyikan kedewasaan yang ada pada dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manda, meskipun tampilannya adalah bocah empat belas tahun, tidak menyembunyikan kedewasaan yang ada pada dirinya. Suaranya tegas dan dia berkata jujur. "Nyaris sembilan belas tahun," jawabnya.

Belinda hampir pingsan.

Julian menatapku. "Lalu, bagaimana denganmu, Diah?"

"Usiaku dua puluh tiga tahun."

            Manda sempat marah, mengatakan kalau distorsi waktu menjadi terganggu karena kejujuranku yang membongkar kejadian itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manda sempat marah, mengatakan kalau distorsi waktu menjadi terganggu karena kejujuranku yang membongkar kejadian itu. Kesadaran tentang lipatan waktu membuat sobekan di tenunan waktu yang panjang. Untungnya, tidak ada hal fatal yang terjadi. Waktu hanya berhenti sebentar untuk memperbaiki jalinannya.

Belinda duduk di sisi Arsen. Wajahnya pucat. "Sejak kapan?"

Manda menatapku. "Tahun lalu," jawabnya. "Hari di mana aku tertidur selama lima jam dan Kak Diah pingsan selama lima hari. Kami mundur lima tahun."

Ibaratnya sudah kadong basah. Tidak ada pilihan lain selain jujur. Kami berkumpul di ruang tengah, duduk melingkar. Manda menjadi pusat perhatian semua orang dan dia duduk persis di sebelahku. Di sisi satunya, Julian duduk tegak. Tangannya memegang tanganku erat.

Juwanda mengerutkan dahi. "Jadi kami mati?" ucapnya. Bukan sebuah pertanyaan yang memerlukan jawaban karena dia sudah mendengarnya. "Di perjalanan pulang?"

Manda tidak bergeming.

"Itu bukan mimpi?" tanya Juwanda lagi.

"Bukan," jawab Manda. "Benar-benar terjadi."

"Kami semua?" Juwanda menatapku. "Bagaimana dengan Diah?"

Aku menelan ludah. "Aku selamat," jawabku pelan. "Julian menyelamatkanku."

Hening. Genggaman tangan Julian di tanganku terasa makin erat.

Juwanda pucat mukanya. Dia yang paling berapi-api, penuh kemarahan setelah mendengarkan apa yang terjadi dari Manda. Dia seperti "tidak percaya" tapi juga harus percaya. Seperti orang alim yang melihat iblis, tapi merasa marah lebih dari Tuhan.

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang