Pembagian kamar itu sia-sia.
Bu Surya datang untuk memasakkan kami makan malam, lalu pamit pulang. Rumahnya ada di belakang vila. Hanya beberapa puluh meter jaraknya. Kami hampir menghabiskan makan malam di meja kecil dengan siku saling bersentuhan.
"Bagaimana kalau duduk di bawah saja?" aku menawarkan.
Cakra mengajak Julian ke belakang, mengambil karpet beludru yang digulung rapi di salah satu ruangan. Karpet itu besar, halus, digulung dan dibungkus dengan plastik. Agak repot saat membentangnya, tapi kami akhirnya bisa menikmati makan bersama dengan duduk bersila di ruang tengah.
Aku mencuci piring setelah makan malam. Cakra melarangku, tapi aku tetap melakukannya. Rasanya tidak enak untuk menelantarkan piring kotor begitu saja dan menunggu Bu Surya datang besok pagi untuk mencucinya sebelum memasak sarapan.
Belinda mengeluh, "Diah, kau membuatku jadi terlihat seperti pemalas."
Aku terkekeh. "Bukan pemalas," balasku. "Kalian memang tidak terbiasa melakukannya. Aku terbiasa untuk mencuci piring bersama ibuku setelah makan malam begini."
"Mencucinya bersama?"
Aku mengangguk. "Aku menyabuni dan Ibu membilas atau sebaliknya."
"Kedengarannya seru, Diah." Belinda memainkan air dengan menampungnya di cangkir-cangkir sebelum membilas. "Satu-satunya hubunganku dengan piring dan cangkir adalah ketika makan dan ketika aku dimarahi karena ada terlalu banyak piring dan cangkir yang menumpuk di kamarku."
Mungkin karena aku memulainya, semua orang jadi ikut bergerak. Cakra mengambil sapu dari ruangan lain, mulai menyapu dengan gerakan patah-patah dan aneh. Julian mengelap piring yang dibilas Belinda. Arsen menepuk-nepuk karpet. Juwanda menyeret kantong makanan ringan, meletakkannya di tengah-tengah karpet.
Setelah selesai mencuci piring, Belinda kembali menarikku agar duduk di karpet. Julian ada di sampingku, mengelap kedua tanganku dengan handuk kering. Kami duduk melingkar, mulai mengobrol. Memang ada televisi dan peralatan elektronik lain di vila, tapi kami tidak menyalakannya. Hanya ada kami, obrolan malam yang mulai ngawur dan keheningan yang mengantarkan suara jangkrik dari rumput di sekitar vila.
"Aku kadang merasa dunia ini terlalu kecil," ujar Belinda. Dia mengunyah perlahan. Camilan berserakan di sekitar. Matanya kosong. "Terlalu membosankan dan menakutkan di saat bersamaan."
Aku memperhatikannya. "Apa maksudnya?"
"Semua yang ada terasa itu-itu saja, Diah. Membosankan. Sebenarnya, aku tidak begitu suka lukisan atau bermain piano. Aku ingin melakukan sesuatu yang keren."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...