Tidak banyak yang terjadi sampai akhirnya kami naik ke kelas dua.
Percayalah, masa SMA berlalu secepat angin. Tiba-tiba saja kami ada di kelas dua. Sistem pembagian kelas membuatku berpindah dari kelas 1-3 ke kelas 2-2. Itu artinya nilai-nilaiku meningkat sedikit. Namun, bukan berarti aku berada satu kelas dengan Belinda. Belinda, Arsen, Cakra dan Julian ada di kelas 2-1. Nilai mereka cukup untuk membuat mereka bertahan di kelas unggulan. Aku juga harus berpisah dengan Gritta yang tetap berada di kelas 2-3.
Kejutannya, aku sekelas dengan Juwanda.
Dengan adanya Juwanda di dalam kelas, kami langsung memutuskan untuk duduk bersebelahan. Kami memutuskannya begitu saja begitu melihat papan pengumuman. Juwanda suka duduk di belakang, jadi kami memilih tempat duduk yang ada di pojok kelas.
Julian bermasam muka ketika dia datang. Dengan sembarang dia menyeret kursi, duduk di sisi mejaku. "Kalau tahu begini, lebih baik aku menyontek dari Juwanda ketika ujian."
Dahiku terlipat. "Memangnya mungkin kau bisa menyontek?"
Julian mengangkat bahu. "Bisa saja, kan?"
"Kau bakal tinggal kelas kalau ketahuan menyontek."
Ujian kenaikan lebih seram daripada ujian-ujian lainnya. Suasananya hampir sama seperti suasana ujian nasional kelulusan SMP dulu. Ada dua pengawas di ruangan. Jarak antarmeja renggang. Murid yang diawasi tidak lebih dari lima belas orang. Tidak ada suara. Hening. Tidak ada celah sama sekali kecuali mengerjakan ujian dengan bantuan otak sendiri. Pengawas tidak segan mendatangi meja-meja, melihat langsung apa yang kami lakukan.
Julian menarik napas panjang. "Melihat betapa kau rajin belajar, Diah, kukira kau akan meluncur masuk ke kelas kami."
Aku tertawa kecil, menyembunyikan senyum kecut. Niatku juga begitu. Sayangnya, masuk ke kelas 2-1 tidak semudah itu. Kelas unggulan itu sudah penuh dengan murid-murid peringkat 1-35 sekolah. Dari hasil ujian kemarin, aku hanya menyabet ranking 40 di angkatan. Juwanda ranking 36. Itulah sebabnya dia di kelas ini. Dia hanya meleset sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...