Aku pulang di pertengahan semester. Akhir tahun sudah dekat dengan liburan Natal dan tahun baru. Aktivitas belajar sudah dihentikan sementara. Aku pulang dijemput oleh Julian dan keluargaku. Kami melewati perumahan Citra, turun di depan rumah Julian. Tante Imelda menyambutku dengan pelukan dan bertanya kabar dengan antusias. Ayah menggendongku keluar dari mobil dan membantuku duduk di kursi roda.
Ibu mendorong kursi roda dari belakang, mengobrol dengan Tante Imelda dan mengucapkan terima kasih. Tante Imelda bersikap hangat dengan merangkul Ibu di pundak, melirik Julian dengan seringai.
Julian membalasnya dengan seringai yang hampir sama.
Keluarga Julian membantu sangat banyak untuk pengobatanku. Dengan asuransi kesehatan dan BPJS yang kami punya, aku memang bisa mendapatkan perawatan. Namun jelas tidak seperti perawatan yang aku dapatkan selama ini. Keluarga Julian membantu dengan meng-upgrade fasilitas ini dan itu.
Setelah berbincang, Tante Imelda meninggalkan kami. Julian membuka pintu besi di dinding belakang rumah. Dalam sekejap, pintu besi itu kembali menjadi pintu ajaib seperti ketika aku kecil dulu. Bedanya, pintu ajaib itu kini mengantarkanku pulang.
Aku terpaku melihat keadaan rumah. Cat yang sama, tapi agak pudar. Tanaman anggrek Ibu yang segar. Teras rumah yang sepi dengan jendela yang ditutup. Ternyata, tidak peduli seberapa lama aku pergi, rumahku masih terasa sama. Seperti istana kecil di lokasi terpencil. Tempat paling aman di seluruh dunia.
Ibu membuka pintu rumah. Di saat-saat begini, setelah tidak berada di rumah selama lebih dari setengah tahun, aku bahkan merindukan setiap senti lantai keramik dan setiap celah di kaki pintu. Rumah ini seakan menungguku pulang. Hebatnya lagi, ketika aku berpikir kalau rumah dalam keadaan kosong, ternyata ada banyak sekali orang di dalamnya.
"CIE PULANG!" Abang berteriak. Tumben sekali dia ada di rumah siang-siang begini.
Belinda meniup terompet. Ada konfeti yang meledak dan membuat kertas warna-warni berserakan.
Aku menatap dinding yang dipenuhi balon. Hiasan memenuhi hingga ke langit-langit. Tulisan 'Home Sweet Home' tertempel di dinding. Ada meja panjang dengan makanan yang berlimpah. Belinda mendekat, memelukku. Senyuman di bibirnya selebar sepuluh senti. Padahal tadinya aku sudah maklum padanya karena Belinda bilang dia harus pergi untuk urusan penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Novela JuvenilBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...