Belinda menepati kata-katanya. Setelah selesai ujian kenaikan kelas, setengah jam sebelum kami pergi jalan-jalan, dia melakukan aksi luar biasa dengan menyatakan perasaannya pada Arsen. Mereka ada di samping rumah Julian, bicara berdua.
Seperti biasa, kami menguping.
Julian ada di sampingku. Kami mendengar jelas ucapan Arsen.
"Kita memang akan jadian hari ini, Belinda. Karena seandainya kau tidak mengungkapkan perasaanmu sekarang, maka aku yang akan mengungkapkan perasaanku setelah kita pulang."
Lalu, mereka berdua berpacaran. Belinda dan Arsen. Sesederhana itu.
Julian bernapas di leherku. Dia sengaja melakukannya agar aku kegelian dan menoleh ke arahnya. Dia mengeluh, "Lihat betapa mudahnya orang-orang punya pacar. Aku harus menunggu seseorang naik ranking sebelum bisa mengajaknya kencan."
Aku mendelik, tapi tidak berani membantahnya.
Juwanda yang berjongkok di dekat kakiku bangkit, menyindir Julian, "Mengenaskan."
Cakra mengikuti langkah Juwanda menjauh.
Aku mendorong Julian menjauh. Belinda dan Arsen masih sibuk dengan acara ungkapan perasaan. Mereka setidaknya butuh beberapa menit lagi. Kami hampir siap pergi.
Julian mengekori langkahku. Dia tidak peduli bagaimana Juwanda menatapnya seakan dia gila dari teras rumah. Kami memasukkan barang-barang bawaan ke dalam mobil. Cakra sudah duduk di bagian belakang, menyumpal telinganya dengan earphone.
"Kau masih bisa berubah pikirkan sekarang, Diah," ujar Julian. "Aku akan menerimanya dengan senang hati. Lapang dada."
"Soal apa?"
"Tidak perlu menunggu sampai rankingmu naik. Aku bisa menerimamu apa adanya." Julian masih belum menyerah. Dia sudah membahas ini bahkan sejak sebelum ujian. "Tidak ada salahnya melanggar satu atau dua hal yang sudah direncanakan. Hidup ini tidak ada yang tahu."
"Aku akan menerimanya kalau aku berada di kelas 3-1, Julian. Cuma itu. Hanya itu satu-satunya cara." Aku menutup bagasi mobil setelah menaikkan seluruh barang bawaan yang tersisa. Hanya beberapa tas ringan.
Julian mengusap muka. Bibirnya maju. Dia kembali bertingkah seperti anak kecil. "Cara untuk apa?"
"Untuk membuatku merasa lebih baik."
Julian mungkin saja menganggapnya konyol, tapi aku tidak begitu. Aku sudah memikirkannya berulang kali. Menaikkan ranking dan masuk kelas 3-1 adalah satu-satunya cara agar aku merasa lebih baik. Setidaknya aku cukup pintar untuk bersama Julian di kelas unggulan. Setidaknya orang-orang tidak akan menganggapku bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
JugendliteraturBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...