Kita Sedang Berduka

10 2 6
                                    

Jadwal kami pergi sama seperti apa yang ada di kepalaku. Bedanya, kali ini kami mempersiapkan kepergian seperti para prajurit bermoral rendah yang akan menyongsong kematian. Arsen dan Belinda diam, saling bantu menaikkan barang. Aku sempat melihat bagaimana air mata Belinda jatuh dan Arsen menghapusnya. Arsen juga sempat mencium punggung tangan Belinda, menarik perempuan itu ke dalam pelukan erat.

 Arsen juga sempat mencium punggung tangan Belinda, menarik perempuan itu ke dalam pelukan erat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka belum berpacaran hingga saat ini—berbeda dengan apa yang terjadi dulu.

Aku menemani Julian yang menatap pekat setir mobil. Dia gugup setengah mati.

"Apa aku yang menyebabkannya?" gumam Julian pelan. Aku mendengarnya.

            "Bukan," jawabku cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bukan," jawabku cepat. "Kau tidak salah, Julian. Hal itu terjadi karena kesalahan pengemudi lain."

Di detik-detik ini, mengucapkan kata "kecelakaan" terdengar seperti kutukan. Kami menyimpan luka dalam-dalam dan berusaha tidak mengungkitnya lagi. Manda mengawasi di depan rumah. Tangannya terlipat.

Dari arah depan, Cakra datang. Dia menyeret Juwanda yang meronta-ronta.

"Lepaskan aku!" pekik Juwanda. Wajahnya merah. "Aku tidak mau ikut!"

Cakra meraih tas Juwanda, mencampakkannya ke depan. Dia juga melepas cengkeraman di tangan Juwanda, membiarkan laki-laki itu terhuyung ke depan. Juwanda terjerembap dengan wajah tertunduk. Tas berwarna hijau lumut yang besar penuh dengan barang bawaan. Terdengar sangat pelan, tapi kami tahu Juwanda terisak.

"Dia mau melarikan diri," kata Cakra. "Dia berencana pergi ke tempat lain dan tidak ikut kita."

Juwanda mengangkat wajahnya, tidak lagi malu dengan air mata yang berlinang di pelupuk mata. "Aku tidak mau ikut! Aku tidak mau mempertaruhkan nyawaku! Mungkin kalian berani mati saat ini juga, tapi aku tidak! Aku masih mau hidup lama! Aku mau hidup panjang!"

Belinda menitikkan air mata. Apa yang dikatakan oleh Juwanda menyakitinya. Dia berpaling, melihat ke arah lain dan mengusap air mata.

Justru Arsen yang maju, mencengkeram erat kerah baju Juwanda. "Kau harus ikut!" bentak Arsen. Wajahnya sampai merah saking kesal dan marah. "Apa yang akan terjadi kalau kau tidak ikut?! Kau tidak akan tahu, kan?!"

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang