Hambar

7 3 0
                                    

Aku yakin tidak ada dari kami yang betul-betul menikmati liburan atau mengingat apa yang terjadi. Kami lebih banyak diam. Menghabiskan waktu memutar film, tapi sibuk di kepala masing-masing. Memasak bersama, tapi sibuk sendiri. Juwanda dan Cakra bahkan tidur bersisian, menghabiskan waktu paling banyak dengan tidur. Sampai kami pulang nanti, mungkin tidak ada yang benar-benar tenang.

Satu hari berlalu begitu saja. Aku berdiri di pinggir pantai, membiarkan ombak menyapu kaki. Pasir yang menggelitik hilang perlahan-lahan. Ada banyak kerang, tapi kami tidak berniat mengutipnya. Ada juga kepiting yang berjalan miring terlihat di kejauhan.

 Ada juga kepiting yang berjalan miring terlihat di kejauhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari ada di atas khatulistiwa. Tegak di atas laut yang seperti garis lurus di ujung sana. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Warna merah memantul di laut, menyentuh kulit seperti selimut raksasa yang hangat. Angin bertiup seiring dengan bayang-bayang panjang terukir di pasir. Dalam setengah jam, malam akan menyapa.

Julian bersandar di pagar kayu teras, menyesap minuman soda kaleng. Dia mengawasi. Cakra ada di sekitarnya, menikmati angin sore. Juwanda duduk di kursi kayu. Belinda datang dengan langkah cepat. Arsen menyusul di belakangnya.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Belinda. Tatapannya khawatir.

Aku menggeleng. "Tidak ada. Mataharinya cantik."

"Lautnya juga," balas Belinda. "Bagaimana kalau kita bikin api unggun malam ini?"

Aku melirik Julian yang mendekat. Kemejanya yang tidak dikancing berkibar, menyisakan baju kaus putih yang tipis. Laki-laki itu menyimpulkan senyum. "Apa kau mau membuat api unggun, Diah?"

Aku mengangguk.

Cakra menyeret Juwanda, datang mendekat. Kami bersisian menyaksikan matahari terbenam. Bola raksasa itu seolah ditelan laut. Perlahan-lahan hilang dari garis, ditarik ujungnya. Mataku tidak berpaling sama sekali saat menyaksikan matahari pergi dari hadapan kami.

Seketika semuanya menjadi gelap. Angin berhembus menerbangkan anak-anak rambut seolah menyambut malam yang baru saja datang.

***

Suara kayu dimakan api terdengar renyah. Seperti orang mengunyah keripik. Aku ingin duduk sedekat mungkin dengan api, tapi Belinda menahanku. Dia memastikan aku duduk cukup dekat dengan rasa hangat, tapi cukup jauh dari kemungkinan terbakar. Api menyala, menari diterpa angin di hadapanku.

Semenjak aku yang kebanyakan melakukan aktivitas memasak untuk sarapan dan makan siang, Julian dan yang lainnya memutuskan kalau merekalah yang akan memasak kali ini. Boys things atau apalah katanya. Yang jelas dia sibuk dengan panggangan dan resep-resep internet sekarang.

"Kita bisa makan sosis bakar malam ini," kata Julian. Senyumannya lebar.

Belinda yang duduk di sebelahku melirik. "Boleh aku minta yang lain? Ayam bakar?"

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang