The Day is Coming

10 3 0
                                    

Manusia mungkin tidak pernah benar-benar serius memikirkan mati sampai hari mereka sekarat benar-benar datang. Selain itu, waktu adalah hal yang aneh. Seperti pedang bermata dua atau justru topeng berwajah dua. Waktu benar-benar menyelip pergi dari sela-sela jari seperti pasir yang tidak pernah bisa digenggam.

Satu minggu yang lalu, aku masih berada di kelas, pusing memikirkan ujian. Sekarang, ujian sudah berakhir dengan libur panjang. Tidak seperti sistem sekolah yang melakukan penerimaan rapor setelah ujian lalu liburan, di sekolahku, setelah ujian, maka libur panjang yang akan datang. Penerimaan rapor dilakukan di awal semester baru.

 Penerimaan rapor dilakukan di awal semester baru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku duduk tegak. Pohon apel berdiri di belakangku. Belinda sibuk dengan catatan barang-barang yang harus kami bawa. Di belakang Belinda, Arsen mengintip sedikit-sedikit apa yang ditulis oleh perempuan itu. Dia juga menimpali beberapa bagian percakapan.

Julian duduk di sebelahku, mengupas apel sambil menyimak apa yang dikatakan Belinda. Kepalanya mengangguk-angguk.

"Apa kita perlu bawa payung?" tanya Belinda. Pulpen biru di tangannya diputar-putar.

Julian menggeleng. "Buat apa?"

"In case hujan?" Belinda mengernyitkan dahi.

Julian menggeleng makin cepat. "Kalau hujan, kita tinggal masuk rumah. Buat apa pakai pakai payung?"

"Buat berjemur?" sahut Belinda lagi.

"Orang Indonesia tidak berjemur di pantai, Bel. Kita semua takut gosong."

Belinda masih kukuh soal membawa payung, tapi Julian menolaknya. Arsen diam di belakang Belinda karena dia tidak tahu harus membela siapa. Juwanda sibuk dengan game sementara Cakra sudah tidur sejak dua puluh menit yang lalu.

"Kalau kau memang mau payung, aku akan memberikanmu payung di sana. Sekalian dengan jas hujan supaya kau bisa berkeliling rumah saat hujan," komentar Julian. Akhirnya dia gemas juga. Julian memotong apel, menyuapiku satu per satu bagian apel saat mereka berdebat soal payung.

Belinda mengangkat bahu ringan. "Kalau bahan makanan bagaimana?"

Topik perdebatan yang baru.

"Kita beli saja yang gampang-gampang dimasak. Banyakin jajanan sama mi instan aja," ucap Julian. "Rumahnya dibersihkan dua minggu sekali, tapi tidak ada orang yang akan datang untuk memasakkan kita makanan."

"Arsen bisa masuk rumah sakit gara-gara usus buntu kalau makan mi terus!" tolak Belinda tegas. Arsen berdeham.

"Kalau begitu, kita beli saja di sana. Order pakai aplikasi."

Dahi Belinda berkerut. "Bukannya kau bilang di kampung itu tidak ada layanan pesan antar?"

Julian menarik napas panjang. "Ya sudah. Kalau begitu, kita beli di warung terdekat sana!"

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang