Aku tidak yakin apa yang kami bicarakan terakhir kali. Tahu-tahu pagi ini kami terbangun dengan posisi tidur yang lucu. Kami tidur di atas karpet di ruang tengah. Meringkuk seperti kucing dan saling bersandar. Cakra merapat ke dinding, tidur dalam posisi duduk dan kaki selonjoran. Kedua tangannya terlipat. Juwanda meringkuk, membelakangi Arsen yang tidur telentang. Kepala Belinda ada di perut Arsen. Kakinya berselingan dengan kakiku. Aku tidur di lengan Julian. Laki-laki itu meletakkan dagunya di atas kepalaku, bernapas pendek-pendek saat dia tidur.
Aku yang pertama kali bangun saat Bu Surya datang. Aku sempat menyaksikan bagaimana posisi tidur semua orang.
Pagi berjalan singkat karena kami tidur menjelang subuh dan bangun saat matahari hampir sepenuhnya tinggi. Sarapan hanya berupa roti yang dipanggang. Bu Surya berencana memasakkan kami makan siang, tapi Cakra bilang padanya untuk tidak perlu memasak apa pun.
Kami piknik di sekitar air terjun dan memanggang di sana.
Cakra, Arsen dan Juwanda memancing di sisi sungai yang lebih tenang. Belinda mengekori mereka. Aku duduk di karpet piknik yang dibentang persis di depan air terjun. Suara air mengalir terdengar kencang. Aku menatap terpukau betapa banyak air yang jatuh dari ketinggian tujuh meter.
Mungkin aku tidak akan pernah ke sini lagi.
Sekolah adalah hal yang indah. Kegiatan yang seru. Aku mendapatkan kesempatan yang sangat baik di SMA bersama teman-temanku ini. Namun kalau kupikirkan sekali lagi, mungkin kesempatan ini adalah kesempatan terakhir. Setelah tahun depan, kami akan masuk kuliah. Aku tidak yakin anak-anak orang penting ini akan masuk universitas negeri sepertiku. Meskipun aku mengincar kampus terbaik di negara ini, teman-temanku ini mungkin akan pergi ke kampus terbaik di dunia.
Itu artinya kami akan segera berpisah.
Julian menyentuh dahiku. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Julian. "Dahimu berkerut."
"Tidak ada," jawabku. Berbohong tentunya. Rasa-rasanya aku makin ahli dalam berbohong. "Tidurlah. Kau bilang kau tidak mau ikut memancing karena ingin tidur, kan? Kita harus pulang sore ini."
"Aku mengatakannya karena aku tidak mau membuang-buang waktu menangkap ikan."
"Menangkap ikan bukan membuang-buang waktu," kilahku. Tidak menyetujui Julian.
Julian terkekeh. "Buang-buang waktu kalau dilakukan sekarang. Aku bisa berdua di sini denganmu. Menonton air terjun. Untuk apa aku meninggalkanmu demi ikan? Aku bisa membeli ikan sebanyak yang aku mau."
Aku tidak menanggapinya lagi.
Menyukai seseorang bukan hanya tentang menyukai apa yang menjadi kelebihannya. Bukan hanya tentang apa yang dia miliki atau apa yang membuatnya menarik. Ketika benar-benar menyukai seseorang, maka artinya menyukai segala macam omong kosong yang keluar dari mulutnya. Kebiasaan jelek berupa sifat sombong yang sudah mendarah daging. Julian adalah orang yang seperti itu. Sombong, arogan dan penuh dengan omong kosong yang kadang berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Novela JuvenilBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...