Pilihan yang Berbeda

11 3 2
                                    

Aku tetap masuk ke SMP negeri itu. Seperti dugaanku, rasanya sama seperti SD negeri dulu. SMP negeri cuma lebih besar sedikit dan punya jadwal yang padat meskipun tidak memakan waktu seharian. Ada banyak murid-murid alumni SD yang sama denganku masuk SMP itu. Mudah beradaptasi di sana. Cuma seperti ganti seragam, ganti guru dan naik kelas. Aku mulai menjalani kehidupan dengan normal.

Belinda, Arsen, Juwanda, Cakra dan Julian tetap masuk ke SMP mewah mereka. Entah apa namanya. Yang jelas, ada kata-kata seperti "internasional school" di belakang namanya. Sekolah elite yang mewah.

Ajaibnya, kami tetap berteman.

Kukira, seperti kata Ibu, SMP akan memisahkan kami. Punya teman-teman baru akan membuat kami lupa pada teman-teman lama. Aku juga punya cukup banyak teman di SMP. Namun ternyata, Belinda, Arsen, Juwanda dan Cakra tetap mengunjungiku dari waktu ke waktu. Mereka masih muncul di waktu-waktu luang dan akhir pekan. Di semester awal masa SMP, mereka semua datang kecuali Julian.

"Mana Julian?" tanyaku pada Belinda.

Belinda tersenyum kikuk. Arsen di belakangnya langsung pasang badan, menjawab, "Dia sibuk belakangan ini."

Aku mengangguk-angguk saja mendengarnya.

Julian masih marah. Dan, tak seperti ajakan pacarannya yang singkat dan berulang, ternyata Julian yang marah membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Dia menolak datang dan tidak pernah lagi bertemu denganku. Meskipun aku dan yang lainnya masih masuk dari pintu ajaib belakang rumah Julian, anak itu cuma mengintip sedikit dari jendela, lalu mengabaikan kami.

Julian kembali bergabung dengan kami di semester dua masa SMP. Saat itu, kami baru saja menerima rapor. Nilaiku jelek jika dibandingkan dengan nilai Belinda, Arsen, Juwanda dan Cakra. Ternyata selain kaya, mereka juga amat pintar. Di sela-sela obrolan soal nilai dan ujian, Juwanda diam dengan wajah datar.

Juwanda tidak biasanya berwajah datar. Dia selalu penuh senyum. Dua lesung pipinya selalu dia pamerkan. Dia suka bertingkah imut. Melihatnya diam selama lebih dari sepuluh menit berarti ada yang salah dengannya.

Aku mendekati Juwanda, mengamati wajahnya. "Kenapa?" tanyaku.

Juwanda menoleh, memasang ekspresi ceria yang tidak alami. Seperti memakai topeng. "Apanya yang kenapa?" balas Juwanda.

Aku belum yakin apa alasan Juwanda sedih. Dia mendapat rangking tiga. Ternyata dia bahkan lebih pintar dibandingkan Arsen dan Cakra. Nilai ujian sekolah rasanya tidak mungkin menjadi penyebab dia sedih begini.

"Apa ada masalah?" tandasku langsung.

Belinda mendekat. Arsen ada di belakangnya. Cakra bangkit dan duduk di sekitar. Dari ujung, Julian muncul. Kami kembali berkerumun mengelilingi Juwanda. Laki-laki tiga belas tahun itu menunduk, lalu meneteskan air mata.

"Ayahku akan menikahi Dokter Mika," kata Juwanda. Air mata jatuh di pipinya, diseka kasar dengan punggung tangan. Ekspresi wajahnya tersembunyi makin rapat seiring dia menunduk, tidak memperlihatkan wajahnya. "Aku sedih."

Aku tidak tahu siapa itu Dokter Mika, tapi sepertinya semua orang mengenalnya. Belinda menatap Arsen yang juga terkejut. Cakra menepuk-nepuk punggung Juwanda. Aku berjongkok di depan Juwanda yang duduk di karpet. Julian ada di belakangku. Dia diam saja.

"Siapa yang bilang?" tanyaku lagi. Rasanya susah sekali menutup mulutku ini.

Juwanda menyeka air matanya. "Ayahku sendiri yang bilang. Dia akan menikah dengan Dokter Mika."

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang