Aku berada di rumah sakit cukup lama.
Kata Ibu, aku koma selama dua minggu dan tidak sadarkan diri selama empat minggu. Kata dokter, tanganku patah. Begitu juga dengan beberapa tulang rusuk yang terbentur mobil. Leherku cidera. Kakiku lumpuh sementara dan beberapa organ dalamku terluka. Ternyata keadaanku cukup parah.
Aku berada di rumah sakit hingga tiga bulan. Bahkan ujian tengah semester sudah dilaksanakan, tapi aku belum muncul di sekolah.
Tulang yang patah butuh waktu yang lama untuk sembuh. Kaki yang lumpuh juga perlu banyak sekali terapi. Waktu mengalir seperti tetesan air yang memenuhi gentong. Aku melewatkan banyak hal.
Di waktu-waktu awal, aku bahkan tidak bisa mengangkat kepala. Butuh berhari-hari sampai aku bisa bersandar di kepala kasur yang dinaikkan sedikit. Suaraku tidak keluar dan aku harus menjalani terapi bicara.
Sepanjang waktu, Ibu menemaniku. Ayah juga ada. Abang berkali-kali datang, melontarkan lelucon aneh, lalu pergi. Namun di waktu-waktu tertentu saat semua orang sibuk, Julian akan muncul. Kadang dia datang bersama Belinda dan yang lainnya, tapi tak jarang juga dia muncul sendiri.
Suara ketukan di pintu terdengar pelan. Julian muncul dengan senyum.
"Do you have a good day?" sapa Julian.
Aku tersenyum kecil. "Ya."
"Jangan tanya di mana Belinda," omel Julian langsung. Dia duduk di kursi, berdekatan dengan tempat tidurku. "Kuharap dia tidak datang hari ini."
"Kenapa?"
Julian menyeringai. "Aku bosan melihatnya."
Semenjak aku bangun, Julian jadi banyak omong. Ah, sejak awal dia memang bukan orang yang pendiam, tapi semenjak aku bangun, dia jadi lebih banyak mengoceh. Julian tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Dia selalu bilang ini-itu. Satu-satunya waktu di mana dia diam saat berada di sekitarku adalah saat dia menemaniku terapi.
Di saat itulah mulutnya tertutup rapat.
"Aku tidak tahu harus memberitahumu atau tidak," ujar Julian berteka-teki. "Belinda akan mengamuk kalau dia tahu. Mungkin saja dia ingin memberitahumu sendiri, tapi aku juga ingin memberitahumu. Ini sangat penting."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...