Lima Tahun dalam Lima Hari

10 4 0
                                    

Aku bangun ketika matahari sudah tinggi. Jendela kamarku dibuka dan tirainya diselipkan ke samping—hanya memberikan sedikit ruang untuk cahaya masuk. Hampir tengah hari. Aku berada di tempat tidur, spontan duduk dan menatap jam dinding.

            Skenario terburuk adalah; kedua orang tuaku menemukan aku pingsan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Skenario terburuk adalah; kedua orang tuaku menemukan aku pingsan.

Mengesampingkan skenario terburuk yang mungkin akan membuat Ibu kembali menyuruhku mengunjungi psikiater lebih cepat minggu ini, aku kembali terpaku pada jam dinding. Mencari keanehan yang ternyata tidak ada.

Jam itu berdetak seperti biasa. Aku memperhatikan jarum merahnya. Dari angka satu ke angka dua. Dari angka dua ke angka tiga. Begitu terus sampai enam puluh kali dan jarum menit berdetak ke angka selanjutnya. Jam berjalan normal.

            Aku bermimpi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku bermimpi. Apa yang terjadi tadi malam adalah mimpi.

Bangkit dari tempat tidur, aku terhuyung, jatuh di sisi kasur. Kakiku lemas, seolah seluruh otot di dalam tubuh sudah tidak digerakkan berhari-hari. Kepalaku terbentur kayu ranjang. Tidak begitu keras, tapi cukup untuk membuatku mengaduh. Aku mengerjapkan mata berulang kali, menahan rasa sakit yang menyengat satu sisi kepala. Mungkin saja akan benjol.

Pintu kamarku terbuka. Abang muncul.

Dahiku berkerut. Abang ada di rumah? Kapan dia pulang?

Aneh sekali melihatnya memakai baju kaus hitam dengan gambar anime yang kekanakan. Kukira Abang sudah membuang semua baju yang begitu ketika dia tamat kuliah. Padahal katanya dia perlu menjaga harga dirinya di tempat baru—di kota tempatnya bekerja.

Abang berteriak, "Bu, Diah bangun!"

Teriakan Abang tidak seperti teriakan biasanya. Bukan teriakan mengadu yang setengah hati, tapi betul-betul teriakan seperti pengumuman besar. Aku mematung, mendengar langkah orang-orang berlari masuk ke kamarku. Kenapa ada banyak sekali orang? Ada apa di rumahku?

Ibu muncul, meraihku dalam pelukan yang erat. Tubuhku direngkuh dan kepalaku diusap-usap dengan cepat dan lembut. Di telingaku, suara tangis Ibu terdengar. Rasa bersalah merasuk ke dalam hatiku seiring aku menduga-duga berapa lama aku tertidur.

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang