Sebelum Manda pergi, aku sempat berbicara dengannya. Kedua orang tuaku melarangku bepergian jauh hingga ke bandara dengan kondisiku dan Belinda juga bilang kalau aku tidak perlu mengantar Manda. Namun Julian membantuku menemui Manda di sebuah kedai kopi setengah jam sebelum dia berangkat ke bandara.
Manda menyesap hot americano. Matanya terpaku padaku.
Aku masih duduk di kursi roda dengan segelas air mineral di depanku. Bingung harus membicarakannya dari mana.
Manda mengecek jam tangan. Selera jam tangannya jelas bukan selera remaja tiga belas tahun biasa. Jam tangannya bulat, kecil, elegan dengan rantai besi yang berkilau. "Waktunya tinggal lima belas menit lagi. Aku harus boarding dalam dua jam."
Punggungku langsung tegak mendengarnya. Julian yang duduk di meja lain berjarak beberapa meter mengawasi dengan senyum kecil. Dia memberikanku ruang untuk bicara pada Manda senyaman mungkin, tapi aku justru kesulitan memulai pembicaraannya.
"Aku mendengar apa yang kau katakan padaku saat aku di rumah sakit," ucapku memulai.
Manda berhenti menyesap minumannya. Dia kaku selama sesaat. Aku yakin dia langsung paham apa yang aku katakan. Kemungkinan besar, Manda hanya mengunjungiku sekali. Untuk mengatakan apa yang dia bilang hari itu.
"Terserah kau ingin bangun atau tidak, tapi lakukanlah dengan cepat. Jangan membuat semua orang menunggu terlalu lama."
Aku berdeham. "Apa kau serius mengatakannya?"
Manda menatapku lurus. "Aku tidak akan minta maaf," ujarnya.
Kalimat itu sudah menjadi jawaban yang cukup.
Aku menundukkan muka, mengatur emosi. Katup-katup di paru-paruku seakan tertutup bersamaan, membuatku sesak. Buncahan emosi terasa seperti gelombang pasang yang dahsyat. Aku melirik koper Manda yang ada di dekat kakinya, di sebelah meja. "Jadi kalau kau tidak merasa menyesal, kenapa kau pergi?"
Awalnya aku kira mungkin Manda merasa bersalah padaku. Mungkin saja dia pergi karena dia merasa sedikit jahat setelah mengatakan hal kejam seperti itu padaku di rumah sakit. Namun sepertinya tidak begitu. Manda pergi dengan alasan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...