Pada saat itu adalah pertengahan semester kelas dua.
Hari Sabtu yang cerah setelah aku menghabiskan sepanjang pagi hingga siang untuk membantu Ibu beres-beres rumah. Seolah akan ada tamu negara yang akan berkunjung ke rumah kami, Ibu tiba-tiba ingin membereskan setiap sudut.
Tentu saja aku membantu Ibu. Mulai dari mencuci piring, memindahkan sofa, menata ulang pot bunga anggrek hingga mengepel seluruh lantai. Aku melakukan semuanya. Setelah sore menjelang dan Ibu akhirnya puas, aku keluar rumah dalam keadaan kusam.
Baju kaus kedodoran yang merupakan turunan dari Abang serta celana pendek jeans dengan gambar anjing kecil di bagian kantong kanan. Rambutku diikat, lalu dilipat dan dijepit—memastikan agar tidak ada satu helai rambut pun yang menghalangi aktivitas berberes tadi. Mukaku kusam dan berkeringat. Aku keluar dari rumah masih dengan keadaan seperti itu. Tujuanku sederhana: membeli es krim di warung yang tidak terlalu jauh dari rumah.
Sayangnya, warung itu tutup.
Aku mulai bimbang antara harus kembali ke rumah atau pergi ke miniswalayan yang berjarak tiga ratus meter lagi. Kalau aku kembali ke rumah, maka artinya aku sudah menyia-nyiakan tenaga dan tidak dapat es krim. Aku diam sebentar sebelum memutuskan untuk melanjutkan langkah. Biarpun lebih jauh, setidaknya aku mendapatkan es krim.
Miniswalayan itu sepi. Aku masuk dan langsung diterpa oleh angin dingin dari penyejuk ruangan. Seorang kasir menyambutku sesuai dengan SOP. Aku berdiri di depan kulkas, memilih es krim satu per satu.
Budget sepuluh ribu. Bisa beli es krim mochi tiga buah atau es krim cokelat dua buah. Di hari panas, lebih enak makan mochi atau es krim cokelat ya?
Aku masih belum memutuskan. Ponsel yang ada di kantong belakangku berbunyi nyaring. Aku mengangkat panggilan tanpa melihat siapa nama pemanggilnya.
"Halo?"
"Diah!" panggil seseorang di seberang telepon. Aku langsung mengenali suaranya. "Kau di mana? Apa kau lihat Manda?"
Suara Belinda terdengar panik.
"Sejak tadi aku di rumah, tapi sekarang aku ada di miniswalayan. Aku tidak lihat Manda. Kenapa?"
"Manda pergi dari rumah."
Aku memutuskan untuk membeli dua es krim cokelat di saat itu juga. Suara Belinda terngiang di telingaku. Dia menjelaskan dengan cepat. Belinda dan Manda bertengkar. Kedua orang tua mereka sedang tidak ada di rumah. Manda meninggalkan rumah dalam keadaan marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...