Sejak hari itu, waktu berhenti di semestaku.
Tidak peduli bagaimanapun matahari terbit dan terbenam, aku masih merasa kalau aku berada di hari yang sama dengan kecelakaan itu terjadi. Tidak peduli bagaimana jam dan menit berjalan, aku masih berada di momen yang sama ketika kulihat kecelakaan itu.
Berita kecelakaan itu menjadi berita yang menghebohkan seluruh negeri. Anak-anak dari konglomerat yang menjadi korban kecelakaan beruntun tentu saja menjadi sorotan media. Seluruh aspek kehidupan kami tersorot. Bahkan sekolah pun masuk pemberitaan setelah kehilangan lima orang muridnya. Di siaran televisi apa pun, pemberitaan tentang kecelakaan beruntun dan meninggalnya lima remaja menjadi berita utama.
Aku dibawa ke rumah sakit oleh dokter yang berada di lokasi. Katanya aku mengalami kesulitan bernapas yang disebabkan oleh trauma dan kakiku mengalami kelumpuhan sementara akibat syok. Ada juga luka-luka akibat tercampak. Dokter bilang keadaanku cukup serius, tapi aku tidak merasakan apa-apa.
Aku tidak bisa merasakan apa-apa.
Di pagi hari setelah kejadian, aku membuka mata dan menemukan banyak orang di dalam ruanganku. Ibuku memasang wajah khawatir saat membangunkanku. Lebih dari sepuluh orang dewasa di dalam ruang inapku yang sempit. Ada Tante Imelda yang menatapku dengan mata merah, menahan tangis. Suaminya, Om Fauzi, ada di samping Tante Imelda. Seluruh orang tua teman-temanku ada di sini.
Dokter Mika memegang erat tangan bocah laki-laki berusia tujuh tahun yang sembap mukanya. Adik dari Juwanda.
Manda mematung, menatapku tanpa ekspresi. Kedua orang tuanya ada di sisinya.
Tante Kiara datang dengan suaminya. Orang tua Cakra muncul dengan anaknya yang paling tua memakai jas hitam dan setelan kantor yang rapi.
"Bagaimana kau bisa selamat?" tanya Tante Kiara. Suaranya dingin, seolah menyalahkanku.
Namun aku tahu kalau apa yang beliau tanya tidak salah.
Ibu bangkit, mengadang. Menghadapi Tante Kiara dengan tatapan tajam. "Nyonya—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...