Satu Tahun

9 3 1
                                    

Masa SMP-ku dipenuhi dengan banyak tugas kelompok. Kurikulum baru membuat siswa lebih aktif dalam belajar. Hasilnya, untuk setiap mata pelajaran, akan selalu ada kelompok belajar. Kelompok belajarku kali ini sepakat untuk mengerjakan peta kerangka tubuh manusia di rumahku.

 Kelompok belajarku kali ini sepakat untuk mengerjakan peta kerangka tubuh manusia di rumahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu tahun terlewati dengan sempurna. Tiba-tiba saja aku menjadi murid SMP kelas dua. Teman-temanku kembali berganti karena sistem pengelompokan kelas yang baru. Di kelompok belajar bidang studi IPA ini, aku punya dua teman baru.

Salah satunya bernama Nimas.

Tadinya mereka sudah mau pulang. Aku juga bersiap untuk mengantarkan mereka hingga ke mulut gang. Aku sudah mengganti rok SMP dengan celana panjang piama beruang. Kepalaku menunduk, mencari sandal saat Nimas berdiri di samping pintu besi yang menempel di tembok.

 Kepalaku menunduk, mencari sandal saat Nimas berdiri di samping pintu besi yang menempel di tembok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wah, keren," kata Nimas. Dari suaranya, dia jelas takjub. "Ini pintu ya? Mengarah ke mana? Kok bisa dibikin persis kayak tembok gini? Kalau nggak betul-betul kuperhatikan, aku nggak bakal tahu!"

Putri yang baru selesai mengikat tali sepatu langsung bangkit, melihat tembok. Dia berdiri persis di sebelah Nimas. "Eh, iya! Ada pintu ternyata!"

Dwi masih memakai sepatu. Talinya terlilit satu sama lain. Dia melirik ke arahku. "Pintu apa itu, Diah?"

Wiwin melirik penasaran. Dia menunggu jawaban.

Empat teman SMP-ku yang penasaran, menatap pintu besi di tembok seperti pintu ajaib yang bisa mengantarkan mereka ke Hogwarts atau Narnia. Seolah-olah pintu itu sangat menakjubkan. Melihatnya sikap mereka, aku terkekeh. Sembari mengenyahkan pilu kecil di dalam hati, aku menjawab, "Cuma pintu biasa."

Nimas merengut mukanya. Dia mendumel, "Pintu biasa kok bentukannya begini!"

"Ya sudah. Kalau begitu, itu pintu luar biasa. Puas?" Aku menyeringai.

Putri mengetuk-ngetuk pintu besi, berteriak, "Halo! Apa ada orang?!"

Aku diam, ikut menunggu jawaban.

Tomorrow Never ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang