Bagian 37.

193 70 2
                                    

Bian tergugu menunggu evan yg belum juga siuman dari pingsan nya, bahkan sekarang selang oksigen terpasang di hidung mancung pemuda tampan itu. Bian tidak henti-hentinya memegang tangan evan sesekali mengecup jari tangan suaminya itu. Perasaan bian hancur melihat evan lemah tidak berdaya seperti ini, bahkan lebih hancur lagi rumah tangga nya yg sebentar lagi akan berpisah dengan evan. Sungguh bian tidak menyangka hari dimana evan mengetahui segalanya, segalanya tentang masa lalu dirinya yg harusnya tidak dia pedulikan lagi.

Kini hanya ada penyesalan didalam relung hati bian tentang semuanya terjadi, jika seperti ini kondisinya tentu bian akan menolak permintaan anaknya dan mencoba menjelaskan pelan-pelan pada sang anak jika papa dan ayah nya telah berpisah. Namun sekarang nasi telah menjadi bubur bian tidak bisa mengelak lagi.

Dokter datang kembali buat pemeriksaan lebih lanjut, bian menghapus air matanya karena tidak ingin dia kelihatan sedih didepan orang lain. Sang dokter mulai memeriksa dan geleng-geleng kepala karena kondisi evan semakin menurun.

"Harusnya menjelang kemo ini pasien banyak istirahat, bukan malah kabur dari rumah sakit tanpa sepengetahuan team dokter" ungkap sang dokter sangat kecewa.

"Maafin saya, dok. Karena saya tidak menjaga suaminya dengan baik. Lantas apa yg saya lakukan agar evan bisa sembuh."

"Kalau pasien sudah sadar maka kemo akan segera kita jalankan."

"Baik, dok."

Dokter pun keluar kembali setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, bian kembali duduk dan memegang tangan evan sedari tadi. Bahkan bian tidak ingin evan melepaskan genggaman tangan nya dia. Karena mungkin ini terakhir kali buat dia memegang tangan evan.

"Cepet sadar, van. Dan aku minta maaf."

Hingga jari jemari evan bergerak, gegas bian langsung memencet tombol yg terhubung dengan dokter langsung. Tak lama dokter dan perawat pun datang buat memeriksakan keadaan evan yg kembali sadar, evan sendiri hanya diam tanpa reaksi apapun saat dokter memeriksakan keadaan nya.

"Karena pasien sudah sadar maka besok kita akan melakukan kemo, dan hari ini biarkan pasien istirahat" ujar sang dokter membuat bian mengangguk tapi tidak dengan evan.

"Saya tidak mau di kemo, dok" ucap evan dengan pandangan lurus kedepan.

"Tuan evan sel kanker anda sudah menjalar hampir seluruh organ tubuh anda, kalau tidak cepet ditangani maka resiko nya sangat berbahaya."

"Saya tau. Bahkan saya juga sudah mengetahui nya kalau saya tidak kemo, saya bakalan mati."

"Van." Bisik bian membuat evan mendengus.

"Dok, biar saya yg membujuk evan agar tetap kemo, gimana pun dia suami saya. Saya pastikan dia akan menjalani kemoterapi tersebut."

"Baiklah tuan bian, kalau begitu saya permisi dulu."

Selepas kepergian sang dokter kini hanya ada bian dan evan, evan sendiri bahkan masih menatap lurus kedepan dengan pandangan yg datar. Dia seolah tidak peduli dengan kehadiran bian disisinya.

"Van, aku mohon kamu harus melakukan kemo demi kebaikan kamu" bujuk bian dengan lembut.

"Lebih baik kamu tinggalin aku sendiri, bukankah kita akan bercerai."

"Aku gak akan menceraikan kamu."

"Cih! Bahkan aku juga tidak akan sudi mau menerima kamu yg seorang pembohong. Pergilah bian aku muak denganmu."

Evan lekas membaringkan tubuhnya membelakangi bian, bian hanya menghela nafas dan menatap punggung evan dengan nanar. Dia mengambil tas nya lalu beranjak pergi dari ruangan evan, bahkan bian sendiri kesedihan nya sudah tidak di bendungkan lagi.

Jendral LaksamanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang