Motor sport keluaran terbaru kini memasuki pekarangan rumah yg megah dengan pagar hitam yg cukup tinggi, sedikit menurunkan gas motornya agar lebih lambat. Memarkirkan roda dua itu tepat di depan garasi lalu mencabut kunci motor, melepaskan helm full face nya yg sejak tadi betah menutup seluruh wajahnya. Seorang pria menyibakan rambut gondrong nya keatas, melihat jam di pergelangan tangan nya ternyata sudah hampir pukul dua dini hari dia sampai dirumah yg megah bak istana tersebut.
Pria itu berjalan dengan santai sambil menggandeng helmnya dan masuk kedalam rumah mewah, satu kata yg bisa dijelaskan saat masuk rumah tersebut yaitu rumah itu dalam keadaan terang tidak seperti biasa. Itu berarti penghuni rumah nya selain dia belum tidur, Dan benar saja dia bisa melihat kalau ada seorang pria setengah baya yg menunggu nya sejak tadi.
"Darimana saja kamu" ujar pria setengah baya itu yg tidak lain adalah ayahnya.
Seolah tuli dia berjalan lurus tanpa mau menghiraukan seruan itu, terlalu lelah fisiknya malam ini maka ia memutuskan buat naik keatas kamarnya.
"Ayah bilang darimana saja kamu, jendral" katanya dengan suara lantang membuat jendral menoleh.
"Untuk apa ayah peduli padaku."
"Kamu itu benar-benar tidak ada sopan santun nya jadi anak, ayah hanya tanya kamu darimana saja!"
"Darimana aku itu bukan urusan ayah."
"JENDRAL!" bentak ayahnya membuat jendral mendengus tidak suka.
Bukan jendral namanya kalau harus turutin semua omongan orang tua dirinya, dengan langkah cepat dia pun lekas naik keatas. Sementara adipati sang ayah hanya menghembuskan nafas lelah menghadapi putera keduanya yg sangat keras kepala itu, dia pun berjalan ke arah sofa dimana tadi dia duduk. Memijat pelipisnya karena sakit kepala sudah menyerang saraf nya.
"Anak itu benar-benar menguji kesabaran saya."
Balik lagi ke jendral saat ini sedang merebahkan diri diatas kasurnya, lelah sudah pasti apalagi tadi bertemu dengan sang ayah dibawah. Entah kenapa jendral terlalu tidak suka dengan pria yg selalu mencampuri urusan nya, bahkan jendral terlalu muak dengan aturan yg dibuat oleh sang ayah.
Dia menatap langit-langit kamarnya seolah tengah berpikir serius buat keluar dari rumah ini, dia bisa saja keluar dari rumah yg besar ini namun ada alasan yg kuat kenapa sampai sekarang jendral tidak bisa keluar dari rumah dan meninggalkan ayah nya seorang diri.
Alasannya karena sang ibu yg sudah lama pergi meninggalkan dia saat usia dia 15 tahun, sang ibu memintanya apapun yg terjadi jangan meninggalkan ayah nya seorang diri. Walaupun dia memiliki seorang kakak tetap saja sang ibu mengamanahkan kepada nya seorang diri, memang jendral akui kedua orang tuanya tidak pernah membela dia sedari dulu bahkan sejak usia remaja hingga kini, namun jendral tetap lah seorang anak yg gimana pun tetap menyayangi kedua orang tuanya terutama sang ibu.
"Harusnya gue pulang ke apartemen tadi" gumamnya.
Harusnya.. Kata seharusnya bisa di gunakan untuk kembali ke apartemen, namun entahlah jendral juga tidak tahu kenapa dia harus pulang kerumah yg sudah tidak sehangat dulu. Bahkan dia tidak menyangka kalau sang ayah sudah berada di rumah.
"Kalau tau gue tua bangka itu sudah dirumah beneran deh males gue pulang, lagian mas evan juga tidak pulang kenapa gue yg kena semprot."
Jendral juga heran evan adalah kakak kandungnya namun dalam pengasuhan justru evan lah yg di prioritas kan daripada dirinya, bahkan soal hobi kedua orang tuanya menantang keras. Jendral memegang dahinya karena pusing memikirkan alur hidup nya yg tidak seperti kebanyakan orang, dia mencoba memejamkan mata namun ketukan pintu kamarnya memaksanya untuk membuka kembali kedua bola matanya.
"Siapa?" teriaknya dari dalam.
"Tuan muda ini bibi sumi" jawab orang dari luar.
Dengan malas jendral bangkit dan langsung berjalan ke arah pintu, dia membuka pintu dan benar saja sudah ada bik sumi yg membawanya segelas wedang jahe kesukaan dirinya.
"Bibi tau tuan muda belum tidur jadi bibi mau bawakan wedang jahe kesukaan tuan muda" ujarnya membuat jendral tersenyum tipis.
"Terimakasih, bik" ucapnya tulus.
"Sama-sama. Tuan muda sudah makan? Kalau belum biar bibi masakan makanan kesukaan tuan muda. Kebetulan tuan besar sudah tidur tadi bibi melihat dia masuk kedalam kamarnya."
"Hayo.. Bibi ngintip ya."
"Eh, anu.. Nggak tuan muda."
Jendral terkekeh melihat raut wajah pembantu nya "saya bercanda kok bik, saya tidak lapar tadi sudah makan diluar."
"Baiklah kalau gitu, bibi permisi dulu ya kalau gitu. Kalau misalnya tuan muda butuh sesuatu bilang sama bibi."
"Iya. Bibi istirahat lah ini sudah malam kalau nanti pinggang bibi sakit akibat begadang gimana."
"Ah, tuan muda bisa aja. Yasudah bibi tinggal dulu jangan lupa habiskan wedang nya."
"Iya. Sekali lagi makasih ya bik."
Bibi sumi mengangguk pelan lalu perempuan yg sudah tidak muda lagi itu lekas pergi dari hadapan jendral, jendral tersenyum tipis melihat kepergian pembantu rumah tangga nya. Nyatanya masih ada orang yg peduli terhadap nya, yaitu bibi sumi yg sedari dulu memang sangat sayang pada jendral bahkan disaat semua keluarga nya bersikap tidak adil tetapi bibi sumi mampu menguatkan dirinya seperti ibu nya sendiri. Bahkan ibu kandungnya sendiri pun tidak pernah bersikap seperti bik sumi semasa hidupnya.
****
Elzion menatap ke arah testpack yg sedari tadi belum dia gunakan, bahkan sudah jam dini hari dia belum bisa tidur hanya memandangi alat itu dengan tangan yg gemetar. Sejak tadi sang kekasih evan tidak kunjung membalas pesannya atau sekedar mengangkat telepon nya, el sapaan lelaki manis itu takut jika evan berbuat macam-macam apalagi jika nanti el dinyatakan hamil.
Dia mendesah pelan mencoba menggunakan alat itu, namun beberapa detik kemudian dia melempar alat itu diatas kasur. Ketakutan nya berdampak besar apalagi dia akan menjadi calon perawat disalah satu rumah sakit yg terkenal di kota ini, belum lagi respon kedua orangtuanya jika dia ketahuan hamil.
"Tuhan.. Aku harus bagaimana."
Ia frustasi memikirkan ini, dia belum siap jika nanti dia hamil anak evan. Masa depan dia di pertaruhkan disini namun menunda pemeriksaan pun tidak baik apalagi sang sahabat nya sudah memperingati agar segera periksa dan apapun hasilnya dia tetap harus terima. Namun dia berpikir keras apakah kalau misalnya dia positif hamil evan mau bertanggung jawab.
Dengan langkah berat dan penuh keyakinan akhirnya elzion mengambil kembali alat itu, dia pun melangkahkan kakinya kearah kamar mandi. Perlahan tapi pasti dia berjalan kearah kamar mandi membuka pintu dengan perlahan, masuk kedalam kamar mandi serta mulai melakukan test sesuai arahan petunjuk cara pemakaian nya.
Lima menit berlalu akhirnya el berhasil melakukan test itu, dia menunggu dengan sabar dan memperhatikan alat test kehamilan itu. Matanya berkaca-kaca dan tangan nya gemeteran kala melihat hasilnya, dadanya berdebar kencang ketakutan mulai menghampiri nya. Dia terduduk di lantai kamar mandi yg dingin pertanda dia lemas saat hasilnya positif hamil.
"Nggak mungkin" gumamnya.
Dengan tangan yg masih gemeteran dia pun segera keluar dari kamar mandi sambil membawa alat kecil itu, airmatanya sudah berlomba-lomba keluar dari pelupuk matanya. Dia meremas rambutnya sangking frustasinya, dia memikirkan nasib masa depan nya yg kini sudah hancur tak tersisa karena kehamilannya. Cuman yg satu yg dia harapkan agar evan mau menerima serta bertanggung jawab kalau dia hamil anaknya evan.
El dengan tergesa-gesa mengambil ponselnya lalu melihat ada satu pesan dari seseorang membuat senyum El terbit, dia menghapus airmata yg sempet mengalir deras dan membuka satu pesan singkat dari sang terkasih.
Mas evan ᰔ
Besok kita ketemu di tempat biasa ya, El. Ada sesuatu yg harus aku sampaikan sama kamu.
[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Jendral Laksamana
Fanfictionnamanya Jendral Laksamana hobi nya balapan, pekerjaan nya seorang fotografer handal. hidup yg berkecukupan tidak lekas membawa jendral dalam kebahagiaan, hidupnya yg seharusnya lancar tanpa hambatan harus menerima jika dia di paksa menikah dengan ma...