"Ada apa?" Pertanyaan tersebut diajukan Hazuru saat ia melihat sang adik perempuan memasuki kamarnya tanpa repot mengetuk. Chizuru mengintip seperti hendak mencuri sesuatu.
"Tidak, aku hanya ingin datang." Perempuan itu masuk ke dalam kamar si sulung. Ia menutup dan berdiri membelakangi pintu, menatap pada Murayama Hazuru yang tidur di atas kasur sambil menatap langit-langit ruangan.
Chizuru berjalan mendekat ke kasur sang kakak. Lalu ia melompat seperti sedang melakukan lompat indah di kolam renang. Alhasil Hazuru pun kesakitan karena ditimpa oleh Chizuru yang berperilaku kurang ajar.
"Akh, kau menggangguku!" murka Hazuru sambil berusaha menyingkirkan Chizuru yang menimpa dirinya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Perempuan 29 tahun itu malah tertawa-tawa seperti anak sekolah dasar yang usil.
Chizuru tak lagi melawan. Ia pun menjatuhkan diri di kasur Hazuru yang kosong tak ditempati. Telapak kaki perempuan itu berada di kepala sang kakak, Chizuru masih mengusili dengan menendang dahi Hazuru beberapa kali.
"Berhenti menggangguku!" Hazuru meraih telapak kaki si adik dan mengelitikinya berulang kali hingga Chizuru tertawa kegelian. Peristiwa ini mengingatkan mereka akan kenangan masa kecil. Chizuru kerap kali mengganggu dua saudara laki-lakinya dan berakhir dia diusili hingga menangis. Meski kini telah tumbuh dewasa, kebiasaan ini tak pernah menghilang.
Keduanya kehabisan oksigen karena terlalu banyak tertawa. Suara embusan napas sambil sedikit kekehan terdengar memenuhi ruangan bernuansa abu tua tersebut. Akibat kelelahan, baik Chizuru atau Hazuru memilih untuk diam dan tak lagi saling mengusili.
"Baiklah, ada apa?" tanya Hazuru begitu napasnya mulai beraturan.
"Aku hanya datang, Oniichan." Chizuru menendang pelan kepada Hazuru. Hal itu membuatnya mendapat perlakuan yang sama dari sang kakak. Mereka pun terkekeh pelan lagi.
"Kau memiliki sesuatu yang mengganjal. Itu jelas sekali."
"Mengapa kau sok tahu?"
"Kau memanggilku dengan sopan."
Chizuru tertawa. Biasanya dia memanggil Hazuru dengan nama langsung atau sebutan aniki jika sedang usil. "Apa aku harus memanggilmu dengan sebutan budak?" ejeknya.
Hazuru sampai geleng-geleng kepala. Kemudian ia kembali bertanya, tetapi dengan serius. "Mengapa kau ikut dalam operasi pembebasan Akamine-san?"
Chizuru diam menatap langit-langit. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab. "Karena ... aku pemimpin Hakatsuru," ucapnya seperti ragu.
"Benarkah? Bukan karena kau merasa bersalah?"
Perempuan itu mengetuk-ketukkan giginya antara satu sama lain. "Aku hanya ingin semua berjalan lancar tanpa ada kendala apapun. Aku lah yang menyiapkan rencana. Jika aku tak terlibat di dalamnya, itu terasa berbohong."
"Lantas mengapa kau memerintahkan Sanzuru untuk tetap berada di sini dan tak ikut ke dalam misi?"
"Setidaknya bila terjadi sesuatu padaku atau dirimu, Sanzuru yang akan memimpin Hakatsuru."
Hazuru berdecak tak senang. "Jangan berkata yang buruk!" Ia memperingati.
"Baiklah, baiklah ...."
Ruangan tersebut kembali senyap. Kakak beradik itu menatap pada langit-langit kamar tanpa berucap sepatah kata pun. Chizuru dan Hazuru tidur dalam posisi yang berkebalikan, kaki dengan kepala satu sama lain.
Namun, kesenyapan itu tak berlangsung lama karena Murayama Chizuru membuka percakapan dengan bertanya sesuatu pada si sulung. "Kau tidak penasaran dengan rupa perempuan yang akan kau nikahi beberapa tahun lalu, Oniichan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Piercing Moon
Fiksi PenggemarMurayama Chizuru menghadapi masalah besar kala organisasi kriminal yang ia pimpin diburu oleh kepolisian Jepang. Organisasinya dianggap sebagai teroris akibat kesalahan yang Murayama Chizuru perbuat. Perempuan itu pun melakukan pencarian panjang yan...