"Sano Chizuru .... Astaga kepalaku bahkan menjadi pening saat membayangkan nama itu." Murayama Hazuru memijit dahinya yang tertutup plester penurun panas. Demam menyerangnya sejak pagi tanpa sebab. Kata dokter keluarga Sano, ia terkena penyakit itu dikarenakan merasa stres akan sesuatu.
Dalam shikibuton¹ lembut, si sulung Murayama membalut diri dengan kakebuton² seperti kepompong yang akan berubah menjadi kupu-kupu. Meski cuaca di luar cukup gerah karena mulai memasuki musim panas, ia malah merasa kedinginan.
"Jangan terlalu banyak berpikir, Aniki." Chizuru yang baru kembali dari pertemuannya dengan Aizen, menyempatkan diri menemui sang kakak yang diketahui tengah sakit.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?! Kau yang membuatku sakit!" Nada suaranya tetap tinggi meskipun tubuhnya tidak dalam kondisi baik.
"Ayolah, Hazuru, aku hanya menikah. Bukankah kau menyuruhku menikah tadi malam? Namun, setelah diberitahu tentang pernikahanku, kau malah jatuh sakit," geram Chizuru.
Mendengar ucapan sang adik, Hazuru mengambil posisi duduk dengan cepat. "Chizuru, aku tidak peduli kapan dan di mana kau menikah. Akan tetapi, sosok yang kau nikahi adalah Sano Aizen. Kuulangi sekali lagi, Sano Aizen, Sano. Iya, kau tidak salah dengar, aku mengucapkan nama Sano. Kau paham sampai di sini?" Pria itu menunjuk pada lantai tatami, memberikan penekanan ditiap nama Sano yang dia sebutkan.
"Lantas kenapa?"
"Kenapa—" Napas Hazuru serasa tercekat. "Kenapa kau bilang?" Ia mengulang kalimat.
"Hm, kenapa? Kami sudah menikah selama empat bulan. Memang kami tidak pernah bertukar pesan karena kesibukan masing-masing. Kami bertemu hanya ketika sedang bekerja untuk membahas rencana. Berbincang sekejap, paling lama adalah 30 menit. Selama empat bulan pernikahan, kami hanya bertemu beberapa kali. Sejak menikah kami tidak pernah mendapatkan waktu untuk berdua meski hanya sehari. Akan tetapi, Sano Aizen baik dan menghormatiku. Tidak mempermasalahkan jika aku tetap memakai nama Murayama meski telah menikah dengannya. Dan yang paling penting, ia tak pernah menyampurkan sianida atau racun lain pada makanan dan minuman yang kulahap. Setidaknya dia orang baik meskipun memiliki sikap dan ekspresi yang dingin." Murayama Chizuru menggunakan jarinya untuk mengurutkan daftar kegiatan apa saja yang telah dia lakukan bersama pria yang merupakan suaminya.
"Tapi Chizuru ... dia seseorang dari klan Sano ...." Hazuru merasa tak memiliki tenaga untuk menjelaskan pada sang adik.
"Apa kau khawatir aku akan merusak silsilah keluarga kita?" tanyanya. "Aku tetap mempertahankan nama klan kita. Memang yang tersisa dari klan Murayama hanya tinggal aku, kau, dan Sanzuru. Ojisan³ meninggal dunia, otosan dan okasan juga meninggal dua tahun lalu. Ojisan pun meninggal tanpa seorang pewaris, dan obasan⁴ ikut menyusul beberapa bulan kemudian. Lalu keturunan adik ojisan mungkin tidak tahu jika mereka memiliki hubungan dengan keluarga utama klan Murayama—yakni kita—karena adik ojisan memutuskan keluar dari keluarga utama sejak puluhan tahun lalu, bukan? Jika kita membahas tentang keturunan dari adik-adik Sosofu⁵, itu akan menyebar luas dan tidak mungkin untuk menarik mereka masuk ke dalam klan. Akan berbahaya bagi kita sendiri—"
"Kau tahu semua itu, tetapi kau memutuskan menikahi seseorang dari klan Sano?" sela Hazuru. "Chizuru, kau seorang kepala klan. Kau memegang tanggung jawab untuk meneruskan keturunan keluarga kita. Namun, mengapa malah menikahi seseorang dari klan besar seperti Sano? Bahkan Sano Aizen yang kau nikahi adalah seorang kepala klan juga."
Chizuru menghela napas. "Aku tahu .... Aku pun telah berpikir selama satu bulan sebelum mengambil keputusan ini. Aizen dan aku melewati pembicaraan panjang sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Ah, aku lupa mengatakannya, pernikahan kami hanya pernikahan bisnis, tidak ada cinta."
"Bisnis? Kau tidak mencintainya?" Mata si sulung mendelik.
"Kami baru bertemu sekitar enam bulan lalu, mana mungkin aku bisa jatuh cinta hanya dalam waktu sesingkat itu. Apalagi Aizen bukan orang yang romantis. Kurasa tidak mungkin aku mencintainya." Perempuan berambut abu mengangkat bahunya ke udara sambil menggulung bibir ke dalam mulut.
"Lantas mengapa kau memeluknya tadi?"
"Kau lihat ekspresi Aizen, bukan? Dia sangat pendiam dan aku suka mengusilinya karena sikap dinginnya itu. Aku tidak peduli dia kepala klan Sano atau pemimpin dari Kawaragi. Sejak menikah, aku selalu usil dan mengejeknya setiap kali kita bertemu karena ia terlanjur terikat olehku dan tak bisa berbuat apa-apa. Jika kau mengira aku mencintainya, tidak, aku hanya usil, sama seperti padamu dan yang lain."
Mulut Hazuru terbuka lebar. Kemudian ia mengembuskan napas dengan besar sambil menyembunyikan wajah di balik kakebuton. "Setidaknya bilang sejak tadi jika pernikahan kalian hanya sebatas bisnis," lirih Hazuru.
Lalu pria itu mengangkat wajahnya dari benda putih empuk tersebut saat hendak mengungkapkan sesuatu. "Lagi pula kau seorang kepala klan dan pemimpin dari Hakatsuru, mengapa tidak memiliki wibawa sama sekali? Setidaknya sikap dingin Sano Aizen menujukkan ketegasan sebagai pemimpin. Lihatlah dirimu, seperti gadis SMA saja." Dia memukul paha adiknya.
Chizuru mengusap bekas pukulan Hazuru yang terlihat memerah. Si kakak tidak memukulnya secara main-main. Lalu dia diam sejenak memandangi lantai tatami. Perempuan berambut abu tersebut merasakan sebuah perubahan besar yang akan terjadi dalam hidup.
"Sebetulnya aku tidak berniat menikah di sepanjang hidupku," ungkap Chizuru. "Namun, Hakatsuru secara tiba-tiba mengalami jungkir balik setahun yang lalu. Banyak anggota yang tertangkap dan kita kehilangan taring. Entah kenapa rencana meminta bantuan pada orang lain melintas di kepalaku. Akhirnya hari ini tiba, dengan bantuan Kawaragi dan Ryukankei, aku harap kita bisa membangkitkan Hakatsuru kembali." Ia menggulung-gulung haori hitam milik Sano Aizen menggunakan jari seakan benda ini adalah udon.
Pundak Chizuru terasa berat, ternyata Hazuru sedang menepuk-nepuk bahu sang adik berulang kali untuk menguatkan. "Aku harap Hakatsuru bisa segera bangkit supaya kita dapat kembali ke Tokyo dan membereskan semua masalah yang terjadi."
Chizuru tersenyum tipis lalu mengangguki ucapan Hazuru. Suasana di antara mereka akhirnya menghangat setelah beberapa kesalahpahaman terjadi. Banyak rahasia yang adik sembunyikan, sedang kakak tidak mengerti untuk apa semua ini. Murayama bersaudara menyelesaikan permasalahan dengan baik meskipun keadaan tidak sedang berpihak.
"Ah, aku lupa memberitahukan sesuatu," lontar si perempuan berambut abu. "Meski aku dan Aizen menikah hanya karena bisnis dan kerja sama antara Kawaragi dan Hakatsuru, tetapi kami telah memutuskan untuk memiliki anak."
Detik itu pula Hazuru rasa demamnya naik.
...
1. Shikabuton: alas tidur atau kasur lantai tradisional Jepang yang merupakan komponen futon
2. Kakebuton: selimut tradisional Jepang yang merupakan komponen futon
3. Ojisan: paman
4. Obasan: bibi
5. Sosofu: kakek buyut...
Hai! Gak nyangka Piercing Moon udah sampai chapter tujuh aja, udah gitu ada yang mau baca lagi. Makasih ya♡ semoga awet terus sampai akhir hehe.
TMI: Baru banget aku belajar tentang perbedaan ojisan, ojiisan, obasan, dan obaasan. Ternyata mereka beda dong!
Kalau ojisan (paman), ojiisan (kakek), obasan (bibi), obaasan (nenek). Beneran masih anget belajarnya. Pokoknya aku kalau ada salah tolong koreksi yaa♥
Terima kasih sudah baca.
Stay read and see you next time!
9 Juli 2024.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piercing Moon
FanfictionMurayama Chizuru menghadapi masalah besar kala organisasi kriminal yang ia pimpin diburu oleh kepolisian Jepang. Organisasinya dianggap sebagai teroris akibat kesalahan yang Murayama Chizuru perbuat. Perempuan itu pun melakukan pencarian panjang yan...