Chapter 37: X Factor

64 28 0
                                    

Max berjalan ke arah Yi Qin. Mata berwarna amber itu telah berubah menjadi merah, menatap Kong dengan nyalang. Tatapan itu persis seperti kobaran api yang menghanguskan sekelilingnya.

Setitik ketakutan merayap pada diri Kong-dan Max merasakan itu.

Dengan suara rendah, Max berkata penuh peringatan dan intimidasi "Aku anggap tidak terjadi apa-apa hari ini."

Yi Qin menggertakan gigi, sebagai pertahanan terakhir.

"Jika kau mengulangnya lagi, tidak peduli dengan Perjanjian Crux dan Dewan Penasihat Sirius. Aku akan menjadikanmu abu ditanahmu sendiri."

***

Prefektur Timur

Imperix, Valandria State

Aria Mansion, 10.30pm

Dua minggu menuju pernikahan.

Hampir 3 bulan, Alexa tidak bertegur sapa dengan Chloe. Gadis itu menghindar tiap kali mereka berpapasan. Agak menyakitkan rasanya, melihat Chloe bersikap seperti itu-tapi Alexa pikir mungkin Chloe butuh waktu untuk menerima keputusannya.

Namun hari ini sesuatu terjadi, Alexa mendengar Chloe demam, sementara uncle Henry dan auntie Jane sedang menemui Elijah di pabrik mereka di Vanguard City. Jadi ia putuskan untuk memeriksa keadaan Chloe, dengan pergi ke kamar sepupunya itu malam ini.

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Alexa pada salah pengurus rumah Aria sesampainya ia di kamar Chloe.

Gadis itu tertidur dengan wajah berkerut.

Apakah dia kesakitan? Rasa khawatir terbersit dihati Alexa.

"Demamnya sudah reda, Nona."

"Istirahatlah, biar aku yang menjaga Chloe malam ini."

Pengurus rumah undur diri, meninggalkan Alexa bersama nona mudanya.

Alexa mengambil langkah, lalu merangkak naik ke atas kasur, menempelkan tangan di atas dahi Chloe untuk memeriksa suhu tubuh sepupunya itu dari dekat.

Ya, sudah reda. Ucapnya dalam hati setelah merasakan suhu tubuh Chloe telah membaik.

Tiba-tiba saja Chloe membuka matanya perlahan. Ia menemukan Alexa tengah duduk di sebelahnya, membaca buku.

"Apa yang kau lakukan?" Suara Chloe serak. Mungkin jika dalam keadaan normal dia akan mengusir Alexa dari kamarnya, tapi dengan kondisinya sekarang-berbicara saja perlu usaha, bagaimana bisa dia bergerak dengan leluasa.

"Membaca buku." Jawab Alexa tanpa peduli reaksi Chloe.

"Pergilah, aku mau tidur."

"Tidurlah. Aku akan disini menemanimu."

"Aku tidak ingin kau temani."

Alexa menutup bukunya. Lalu masuk ke dalam selimut. Memeluk Chloe tiba-tiba.

"Kalau begitu, kau yang temani aku, ya? Aku sedang tidak ingin sendirian." Pinta Alexa, lalu menutup mata. Membenamkan wajahnya di bahu Chloe.

"Sudah ku bilang aku membencimu."

"Ya. Terserah kau saja." Jawab Alexa tidak peduli.

Sesaat semuanya hening. Chloe masih membiarkan Alexa bersandar dan memeluknya dari samping.

"Maafkan aku, karena memutuskannya sendiri." Tiba-tiba Alexa buka suara.

Lama tak merespon. Chloe menghela nafasnya dan hanya melihat langit-langit kamar dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Kau mencintainya, Lex?"

Alexa membuka mata. Ia berpikir sejenak.

Soal cinta, dia pernah berkata pada Max, bahwa untuk menikah, mereka perlu saling mencinta. Namun kini pandangan Alexa soal pernikahan berubah. Dia tidak lagi punya cita-cita romantis bahkan tidak pula pragmatis. Pandangannya soal cinta mundur lebih jauh. Cinta tidak lebih sebagai konstruksi budaya yang berakar pada kebutuhan sosial dan ekonomi. Alat untuk mencapai tujuan-tujuan praktis seperti stabilitas dalam hidup. Tidak kurang dan tidak lebih.

"Mereka bilang cinta terdiri dari waktu dan pengorbanan. Jika memang itu benar-benar ada, aku harap ia tumbuh perlahan." Ucap Alexa asal.

"Jadi saat ini kau belum mencintainya, tapi ada kemungkinan kau akan mencintainya seiring berjalannya waktu?"

"Depends on.."

"Pada?"

"Faktor X." Dalam hatinya Alexa terkekeh. Bisa-bisanya dia menjawab Chloe tanpa berpikir panjang. Apakah dia dan Max punya kemungkinan untuk bisa saling mencintai karena menemui faktor x dalam hubungan mereka? Tentu saja Alexa tahu jawabannya-kemungkinannya kecil sekali.

Manusia memang makhluk yang kompleks. Perspektif bisa berubah seiring waktu, tapi Alexa yakin-baik dirinya dan Max punya garis yang sangat jelas, atas apa hubungan mereka di bangun.

"Ah aku benar-benar tidak mengerti dirimu." Selain masih lemas, Chloe juga semakin frustasi memikirkan Alexa dan Archibald yang menikah tanpa di dasari rasa cinta-dan hanya melihat variabel lain di masa depan.

Alexa benar-benar membuat kepala Chloe berdenyut nyeri malam ini.

"Heh jangan marah-marah, nanti demam mu naik lagi."

"Jika aku demam lagi, ya itu karena dirimu!"

Alexa tertawa. Ia senang karena hubungannya dengan Chloe mulai membaik.

"Besok setelah kondisimu pulih, cobalah gaun yang aku taruh di lemarimu, ya. Aku memperkirakan sendiri ukuranmu saat meminta desainer menjahitnya. Dan jadilah pengiring saat pernikahanku nanti. Okay?"

"Kau terlalu percaya diri kalau aku akan memaafkanmu ya?"

"Tentu saja. Kau kan mencintaiku-dan mungkin itu sudah tumbuh perlahan dari sejak kau mulai mengenal wajahku, ya kan?" Seperti yang Alexa bilang tadi, cinta terdiri atas waktu dan pengorbanan-dan hubungan mereka sudah melewati itu sejak lama.

Apa yang dikatakan Alexa benar, Chloe mencintai Alexa selama itu. Ia bahkan menjadikan Alexa-seorang kakak wanita, sepupu satu-satunya-sebagai idolanya, dan itu telah berlangsung sejak ia bisa berbicara, mengenal wajah seseorang, dan belajar melangkah.

Tidak terasa, air mata menetes di pipi Chloe. Ia kesal karena Alexa terlalu mengenal dirinya.

"Kau menangis?"

"Tidak!"

"Ah kau menangis!" Alexa kembali tertawa.

"Sudah ku bilang tidak!"

***

Author Notes:

Menurut kalian, menikah itu perlu saling mencinta atau enggak?



Archibald: The Star, The Fire & The ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang