Chapter 42: We're All Eating Each Other

49 3 0
                                    

Author Notes:

Besok aku posting chapter terakhir di part 1 ya. Part 2 nya sudah ada 7 chapter. Mohon masukannya dong, enaknya part 1 dan part 2 di jadikan 1, atau dipisah aja ya?

***

Max mendekap Alexa dan membawanya ke dalam pangkuan.

Melarikan diri-mungkin Max punya perhitungan yang lebih ringan, namun ketika itu bersama seorang Gale, tentu saja jadi lain soal. Hukuman fisik tidak datang pada Alexa, karena Max tahu, itu terlalu mudah, terlalu cepat, terlalu berantakan-bagi seseorang yang akan ia jaga, atas nama dendam dan pembuktiannya. Ketidakberdayaan yang Max ciptakan di dalam hati dan pikiran Alexa, membuat wanita itu merasa terjebak, tanpa harapan-adalah bentuk hukuman paling sempurna, untuk seorang mata-mata paling berbahaya di dunia.

Max lebih memilih menggunakan manipulasi emosional dengan kejam, menekan Alexa sampai di satu titik dimana wanita itu tersadar bahwa ia sudah terlambat untuk jalan keluar.

Sambil berjalan menuju suite room jet pribadinya private jetnya Max berbisik, "Aku tidak suka berbagi milikku, jadi jangan mengujiku."

***

Prefektur Timur

Maverick, Baven

Ravenspire Castle, 08.00am

Suara langkah kaki yang berjejal, berjalan dengan cepat kesana dan kemari. Tirai-tirai sutra megah, berwarna cokelat tua itu ditarik ke arah berlawanan, sehingga cahaya keemasan melesak masuk memenuhi seisi ruangan.

Pagi ini Alexa dipaksa untuk sadar. Ia mulai membuka matanya perlahan walaupun dengan sedikit perlawanan setengah sadar.

"Keluar." Perintah Alexa, matanya masih berusaha mencari objek yang menjadi fokus, ditengah buram lensanya yang menyelimuti.

"Nona, hari ini adalah hari pernikahan Anda, jadi Anda perlu bangun lebih awal untuk bersiap-siap. Kami sudah menyiapkan bak mandi yang sudah diisi essential oil terbaik, lalu sehabis itu Anda bisa sarapan, dan berlanjut untuk mendapatkan perawatan tubuh, termasuk riasan tangan dan kaki." Mereka adalah para pelayan Archibald yang bertugas melayani Alexa di Kastil Ravenspire.

Pernikahan.

Hari ini akhirnya tiba.

Mendadak, ada bola besar yang memenuhi rongga tenggorakan Alexa. Rasanya menyakitkan, sesak, dingin dan pahit.

Beberapa hari ini Alexa hanya mengurung diri di kamar, dan tidak membiarkan siapapun masuk, kecuali para pelayan yang mengantarkan makanan. Sebuah usaha sia-sia, karena benda-benda yang terlihat lezat itu bahkan hanya dimasukan ke dalam mulutnya satu atau dua sendok paling banyak.

Ketika itu, Archibald justru jadi satu-satunya orang yang Alexa tunggu.

Sejak hari dimana Max mengintimidasinya sampai pada batas yang bahkan tidak sanggup ia tanggung-Alexa menjalani sisa harinya dengan duduk sendirian, menatap jendela melalui pandangan kosong.

Dalam lamunannya Alexa berpikir tentang bagaimana ia harus bersikap pada Max setelah kejadian di private jet, tapi yang Alexa tahu pasti-dia tidak pernah punya mimpi yang mahal, seperti membayangkan Max meminta maaf atas duka dari kekejaman yang pria itu lakukan-tidak, dia tidak pernah memimpikan itu. Dia hanya ingin pria itu menemuinya sekali saja, lalu bergerak di depannya dengan angkuh, seperti biasa-dan hari dimana itu terjadi Alexa setidaknya sudah punya tenaga untuk berdiri dengan layak, melukai ego si elemen api, penguasa Prefektur Timur itu.

"Bangunlah, tim perias, Vivienne-perancang busanamu, akan tiba setelah makan siang." Irina masuk ke dalam kamar, lalu memerintah Alexa begitu saja.

Mendengar Irina berada di dekatnya, Alexa bangun dari ranjang, lalu duduk dipinggirannya. Baru hari ini Alexa bertemu dengan Irina. Dia ingat ada sebuah pertanyaan yang ingin ia tanyakan sejak saat mereka melempar pandang di pintu pesawat.

"Kenapa kau memotong rambutmu?"

"Karena aku ingin."

"Kenapa?"

Dahi Irina berkerut, tidak mengerti kenapa Alexa mengulangi pertanyaannya.

"Kenapa kau berbohong kepadaku?"

Saat di Imperix, hampir setiap hari Alexa menghabiskan waktu dengan Irina, dan tanpa sengaja itu membuatnya memperhatikan hal-hal kecil yang Irina lakukan. Memelintir ujung rambut, mengibaskannya, lalu mengacaknya dengan anggun, adalah hal yang sering dilakukan Irina. Alexa tahu, Irina terlihat begitu menyukai rambut pirangnya yang panjang dan berkilau-jadi ia tahu kalau saat ini wanita itu tengah berbohong. Entah karena apa-atau karena siapa.

Irina memutar matanya.

Lalu dengan sedikit gerakan, menyuruh seluruh pelayan keluar dari kamar. Kini yang tersisa hanya mereka berdua.

"Kau tidak usah mengasihaniku, yang perlu kau lakukan sekarang adalah mengangkat tubuhmu dan bersiap. Jangan membuat masalah, lalui prosesi pernikahanmu dengan tenang. Kau pernah dengar, jika kau bukan bintang jangan bermain dengan api, karena yang tersisa untukmu hanyalah bayangan. Aku yakin hari-hari pernikahanmu akan berat, tapi itu harga atas pernikahan dengan seorang Archibald. Ingat, saat waktunya tiba-seperti yang pernah kau katakan padaku, kalau aku bisa memilikinya dengan utuh. Jadi bersiaplah." Atmosfer ruangan ini tiba-tiba berubah, Irina berbicara seperti Alexa tidak pernah mengenalnya. Ini bukan Irina yang anggun, cantik dan menyebalkan, dia begitu mengintimidasi, mengingatkannya pada Maximillian Archibald.

Namun, apa yang dikatakan Irina benar. Tidak ada gunanya bertanya tentang keadaan Irina seolah itu adalah bentuk rasa kasihan padanya. Irina bukan orang yang membutuhkan itu. Dia memiliki kekuatan besar di belakangnya, Alexa tidak perlu gusar. Justru Alexa seharusnya berkaca, karena pantulan di cermin itulah yang cocok untuk disematkan oleh rasa bernama kasihan. Ya, kasihan Alexa.

***

Beberapa hari lalu...

Prefektur Timur

Imperix, Valandria State

Archibald Empire, 01.45pm

"Kau tahu, kenapa aku membiarkamu masuk ke dalam lingkaranku?"

Irina berdiri terpisah oleh meja, sementara sang lawan bicara duduk tepat di depannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya Irina menunduk pada seseorang. Putri tunggal penguasa elemen air benar-benar merunduk pada seseorang dengan kekuatan besar yang bisa melindunginya sekaligus menghancurkannya. Seseorang yang membuatnya bertekad sekaligus membuat mentalnya jatuh. Yang memberikannya rasa gugup, takut dan gentar. Maximillian Archibald mungkin sengaja diciptakan untuk duduk dilapisan paling atas saat dunia pertama kali diciptakan. Itulah kenapa orang-orang di bawahnya bisa merasa tekanan luar biasa meskipun Archibald tidak bersusah payah untuk melakukannya.

"Itu bukan karena kau layak-" Max duduk menghisap cerutunya. "Tapi karena aku ingin tahu apa sebenarnya tujuanmu." Asapnya berhembus, membuat kabur jarak pandang antara dirinya dan Irina.

Irina berusaha terlihat tenang, namun jelas-raut wajah wanita ini berkata sebaliknya. Keanggunan yang biasanya terpancar pada gerak dan penampilannya mendadak sirna.

"Tujuanku mengabdi padamu, Tuan."

Max tersenyum remeh. "Membiarkan Alexa sendirian dan menghilang, kau sebut itu mengabdi?"

"Ku pastikan itu tidak terulang, Tuan."

Bagi Archibald tidak pernah ada lain kali, jadi ini adalah yang terakhir. Jika hal ini sampai terulang, tentu saja Archibald akan punya perhitungan yang panjang, dan balasan yang dilakukan perlahan.

Max beranjak dari kursi, lalu berdiri dan berjalan.

Langkahnya terhenti tepat saat ia membelakangi Irina.

"Aku rasa kau sibuk mengurus penampilanmu, jadi potong rambut pirangmu itu." Ucap Max, kemudian pergi meninggalkan Irina di belakang.

***

Archibald: The Star, The Fire & The ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang