Satu minggu berlalu. Kak Junghwan belum membaik, ia tetap sulit menerima makanan dan yang dilakukannya hanya mengurung diri di kamar. Bahkan, mungkin memburuk. Kini, ia sama sekali tidak mau menggendong putra kami. Ketika Jungha menangis, ia hanya akan ikut menangis di kamarnya dan tidak melakukan apa-apa.
"Shinyu, ini nangisnya nggak mau berhenti. Kayaknya dia maunya digendong sama lo," Gyuvin memasuki kamarnya tanpa permisi sembari membawa Jungha dalam gendongannya, menepuki punggung mungilnya pelan.
Kak Junghwan menutup wajahnya dengan selimut, isakannya semakin keras dan tidak beraturan.
"Alright.. I'm sorry.." cicit Gyuvin.
"Let me," ujar Yujin sembari memindahkan Jungha ke dekapannya.
"Kamu kemana aja sih? Tumben udah siang gini baru dateng?" Gyuvin melayangkan protesnya.
"Aku semalem belajar buat ujian, kak, jadinya bangunnya kesiangan," Yujin meringis.
"Oh iya ya.. kakak lupa kamu masih sekolah.. loh, kok Jungha langsung diem?"
"Hebat 'kan aku," Yujin mengendikkan bahunya. Ia pun pergi ke kamar tamu dan membaringkan Jungha di kasur. Mendusali perutnya, memainkan kedua tangannya sembari berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti. Tapi itu manjur.
Yujin tiba-tiba saja terdiam saat ia menatap Jungha-ku lekat. Senyumnya perlahan memudar, dan ia menyentuh perutnya sendiri dengan penuh perasaan.
"Coba kalo kamu masih ada ya nak.. mungkin Jungha sekarang bakal punya temen main, nggak sendirian kayak gini. Maafin Mama..." lirihnya. Kemudian, ia mengecupi seluruh wajah Jungha dan berbaring di sampingnya, membawa tubuh mungil putraku ke dalam pelukannya.
"I should be the one to apologize," Gyuvin berujar sembari menghampiri Yujin. Ia berlutut di sisi kasur dan mengusap lengan Yujin yang diam-diam menitikkan air matanya. "Kamu nggak salah.."
"Aku mau anakku, kak," Yujin terisak, mengeratkan pelukannya pada Jungha. Kali ini, ia membiarkan air matanya mengalir dengan bebas.
Gyuvin menatapnya terperanjat. Ia mengambil sebelah tangan kurus Yujin dan merematnya.
"Maafin kakak.. semua salah kakak," cicit Gyuvin. Ia lalu mendaratkan kecupan bertubi-tubi pada dahi Yujin yang kini tersingkap.
"Aku mau juga punya bayi yang bisa aku timang-timang kayak gini," Yujin menatap Gyuvin dengan hidung yang memerah. "Coba kalo waktu itu aku berontak aja, nggak usah nurutin Mama."
"Kita punya Jungha, Yujin. Dia 'kan punya kita semua," Gyuvin mengusap pipi Yujin yang tenggelam hanya dengan satu tangkupan tangannya.
Aku ikut berlutut di samping Yujin, membelai kepalanya dan mencoba menghapus air matanya dengan ibu jariku. Rasanya sakit sekali melihatnya menangis, terutama karena alasannya.
Aku merutuki diriku sendiri karena terlalu cepat meninggalkan rumah. Berapa banyak yang sudah aku lewati? Aku bahkan tidak tau bahwa Yujin memiliki dosa, dan itu semua karena ibunya yang banyak menuntut.
"Yujin.. lo kenapa? Nangisnya sampe kedengeran ke luar.. udah nyaingin Kak Shinyu aja lo," Hanjin yang baru saja tiba buru-buru menghampiri Yujin. Ia menyapaku dengan menatapku bertanya.
"Hanjin.. gue beli suplemen bubuk buat Kak Shinyu. Lo campurin aja ke air minumnya ya, gue nggak ngerti takarannya. Dia pasti belum makan apa-apa 'kan hari ini?" ujar Yujin pada Hanjin kemudian.
Hanjin bangkit berdiri, ia menghela nafasnya dan bergegas turun menuju dapur tanpa berkata apa-apa lagi.
Seperginya Hanjin, Gyuvin membaringkan dirinya di samping Yujin dan memeluk pinggangnya, menumpukan dagunya pada bahu sempit kekasihnya itu.
"Aku mau cium kakak tapi aku lagi melukin Jungha," keluh Yujin.
"Geser kesini, biar kakak pindah ke sebelah sana."
Yujin menggeser posisinya dengan hati-hati, menyisakan tempat yang cukup luas untuk Gyuvin di sisi kanannya. Gyuvin pun pindah, ia kini membelakangiku.
Gyuvin mengusap dagu Yujin dengan ibu jarinya, lalu menariknya mendekat dan meraup bibirnya lembut. Aku merinding menyaksikannya, tampaknya ia benar-benar pencium yang handal. Sebelah tangannya meremat pinggang Yujin dari luar pakaiannya, namun itu mampu membuatnya melenguh pelan.
"Pindahin aja Jungha ke tempat tidurnya, biar kita lebih leluasa," cengir Gyuvin.
"Oh jadi kakak gini ya nanti kalo udah nikah? Nggak akan mau ngalah sama anakmu?" Yujin menatapnya memicing.
"Nggak maulah! Kakak 'kan juga mau dimanjain sama kamu..."
Seusai berkata demikian, Gyuvin menggendong putraku yang telah kembali tertidur, membaringkannya di kasurnya sendiri.
"Hati-hati, perhatiin lehernya," titah Yujin.
"Tenang aja, dia nggak serentan itu kok," kekeh Gyuvin. "You really sounded like a mom just now."
"Well, I am one."
Gyuvin membelalakkan matanya. Ia buru-buru kembali ke sisi Yujin dan mendekapnya erat, tanpa berkata apa-apa. Tangannya menepuki punggung Yujin, sesekali mengusap pelan.
"Kamu minta kesini tiap hari karna mau main sama Jungha 'kan? Bukan buat Kak Shinyu?"
Mau tak mau, Yujin akhirnya mengangguk.
"Nggak apa, Yujin. Please wait for a few more years. I'll marry you and we'll have our own babies, without your mom getting in the way."
"Can't I have them now? You can marry me later, I won't mind..." Yujin berucap lirih. Ia menatap Gyuvin dengan sedikit putus asa, manik kecoklatan itu kembali menitikkan kesedihannya.
"Masih banyak yang harus kita kejar, Yujinjwae. Kakak nggak mau kita jadi kayak Kak Hanbin yang terlalu terburu-buru, kasian kamunya nanti. None of us are ready for something that big. Starting a family is no joke, alright? It's not merely about having cute babies, it's more than just being a mom. Trust me on this. Kita udah liat banyak contohnya di depan mata kita.. let's not end up like them."
Yujin mengulaskan senyumnya, lalu mengecup singkat pada cuping bibir Gyuvin.
"I love you, my future husband," gumamnya.
Dan aku? Aku masih saja malu menyaksikan itu semua, sama seperti dulu.
Di mataku, Yujin tetaplah anak kecil. Yujin adalah bayiku juga, tidak peduli berapa pun angka pada usianya bertambah.
.....tbc
—————
A/N : Yujin's secret is out.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLOT TWIST (Shindo / Nitdo ft Gunwook)
FanfictionMimpi adalah angan. Cinta adalah ilusi. Kebahagiaan adalah semu. Esok adalah teka-teki. Dan hidup adalah permainan. Dalam lika-liku dan jatuh bangun, siapa yang harus kamu percaya? Kepada siapa kamu harus bersandar? Apakah kegagalan adalah akhir?