Chapter Forty Seven

22 4 0
                                    

Malam harinya, Kenzo segera bergegas ke rumah sakit setelah ia mendapatkan kabar dari Denis jika saat ini Alex sedang di rawat. Denis memberitahu Kenzo karena ia merasa, Kenzo memiliki hak untuk mengetahui keberadaan Alex. Anehnya, Leo sama sekali tidak mempertanyakan hilangnya Alex selama dua hari terakhir ini.

Di lobby rumah sakit, Kenzo langsung menanyakan keberadaan Alex pada perawat yang sedang bertugas di bagian administrasi. Setelah perawat tersebut mengatakan di mana kamar rawat inap Alex -- Kenzo segera berlari menuju ke kamar tersebut dengan raut wajah yang semakin khawatir.

Kenzo masuk ke dalam kamar VVIP Tiga tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Untunglah, saat itu Litha sudah tak terlihat berada di dalam kamar tersebut karena Kenzo hanya melihat Nabila yang sedang membasuh wajah Alex dengan sebuah handuk basah.

Alex yang melihat kedatangan Kenzo tampak sedikit terkejut. Pasalnya, ia sudah mengingatkan Denis untuk tidak memberitahu keberadaannya pada Kenzo. Tapi, Kenzo tetap datang ke sana sampai membuat Alex merasa gelisah.

“Lo bener-bener gak anggap gue sahabat?” cecar Kenzo setelah ia sampai di samping brankar Alex.

“Gue cuma gak pengen lo khawatir.” Alex tampak beralasan seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Kalo Kak Denis gak ngasih tau gue, gue pasti udah jadi orang gila sekarang!” sentak Kenzo. Wajahnya yang berkulit putih itu berubah menjadi memerah karena ia menahan amarah dan rasa khawatir yang bercampur menjadi satu.

Nabila hanya menatap keduanya secara bergantian. Sepertinya, Kenzo dan Alex akan bertengkar lagi seperti waktu itu karena Alex masih saja merahasiakan soal penyakitnya pada Kenzo.

“Gue baik-baik aja, Ken. Lo bisa lihat sendiri,” tukas Alex sembari menatap lekat wajah Kenzo.

“Bil, bisa tolong tinggalin kita sebentar? Gue harus kasih sedikit pelajaran sama pacar lo yang kurang ajar ini!” perintah Kenzo pada Nabila yang justru membuat Alex mengulum senyumnya.

Nabila tampak menganggukkan kepalanya pelan. “Jangan galak-galak. Dia satu-satunya orang yang gue miliki di dunia ini.”

“Lo gak usah khawatir. Akan gue pastikan dia tetap bujangan ketika gue keluar dari sini,” sungut Kenzo yang langsung mendapatkan tatapan sinis dari Alex.

“Psikopat, lo!” umpat Alex dengan kesal.

Nabila hanya bisa mengulum senyum sembari keluar dari dalam kamar rawat inap tersebut. Sepeninggalan Nabila, raut wajah Kenzo berubah menjadi sangat serius. Ia tampak menggeser sebuah bangku ke samping brankar Alex agar ia dapat duduk di dekat sahabat karibnya tersebut.

“Bilang sama gue, sebenernya lo sakit apa?”

Sirosis,” jawab Alex dengan segera.

Sirosis ?” beo Kenzo karena ia baru mendengar nama penyakit tersebut.

Alex tampak menghirup oksigen cukup dalam sebelum ia menjelaskan semuanya pada Kenzo. “Kerusakan hati, atau kanker hati. Gue mengidap penyakit ini sejak gue masih SMA. Gue gak memberitahu siapa pun karena gue gak mau terlihat lemah di hadapan kalian semua.”

“Tapi, seenggaknya lo bisa jujur sama gue, Al!” protes Kenzo.

“Dari reaksi lo, kayaknya lo udah tau soal penyakit gue,” tangkas Alex seraya menautkan alisnya.

“Bukan karena gue udah tau. Tapi, karena gue mencoba untuk berpikir lebih kritis tentang diri lo! Gue tau penyakit lo gak ringan karena gue sering lihat dengan mata kepala gue sendiri waktu lo lagi mimisan. Bahkan, terkadang lo muntah darah di kamar mandi,” tutur Kenzo sembari menatap Alex dengan penuh rasa khawatir.

The Highest ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang