Chapter Twenty Seven

78 22 59
                                    

Dini hari yang begitu dingin. Hembusan angin tidak memengaruhi luka yang diderita oleh hati Kenzo, sekali pun tubuhnya terasa menggigil. Ia benar-benar tidak bisa memejamkan mata, sampai ia harus bergadang di balkon kamarnya sembari sesekali menatap ke atas langit yang begitu gelap.

Rintik hujan seakan mewakili kondisi hatinya saat ini. Apa lagi, kalimat pada saat Litha memutuskan hubungan dengannya, terus berdengung dalam pikirannya. Sesingkat inikah kebahagiaan yang harus ia rasakan? Tak bisakah ia membuat Litha kembali padanya?

"Hey, Thor! Gue gak selemah itu!" gerutu Kenzo, mencibir Sang Author.

Ye, ye, maaf. Gw cuma bikin kondisi lo jadi sedikit lebih dramatis agar semua orang terbawa suasana.

Kenzo sedikit melangkah ke depan untuk bersandar pada pagar hitam balkon tersebut. Ia mulai menyalakan ponselnya seraya memandangi layar ponsel yang memamerkan foto kebersamaannya dengan Litha. Sungguh, sampai detik ini ia merasa bahwa Litha masih menjadi miliknya.

"Kamu kira, aku akan menyerah begitu saja? Tetaplah mencintai aku, itu sudah cukup bagiku untuk membawa kamu kembali ke dalam genggamanku," Monolog Kenzo sembari terus menatap layar ponsel miliknya.

Tak lama kemudian, ia mendengar ada seseorang yang membuka pintu kamarnya. Kenzo mulai menautkan alisnya seraya memperhatikan siapa yang sedang berjalan menghampirinya saat ini. Suasana kamar Kenzo yang gelap akibat ia mematikan lampu kamar, sungguh membuat ia kesulitan melihat orang tersebut sebelum orang itu benar-benar sampai di hadapannya.

"Kak Denis!" pekik Kenzo dengan pelan.

Denis tampak berjalan mendekati Kenzo seraya berdiri di samping adiknya sembari meletakkan kedua lengannya di atas pagar hitam dengan tinggi seratus senti meter sebagai sanggahan tubuhnya.

Sedangkan Kenzo masih mempertahankan posisinya yang sedang menyandarkan punggung pada pagar hitam tersebut. Sesaat, suasana terdengar begitu hening. Baik Kenzo mau pun Denis belum ada yang mau bersuara.

"Lo tau sendiri, gue benci banget sama lo. Apa lagi, dengan entengnya lo datang ke sini dan membuat kegaduhan sampai sebesar ini." Denis mulai bersuara. "Tapi, gue lebih benci lihat lo cuma diam di kamar kayak gini sambil meratapi nasib lo!"

"Kakak ngomong kayak gitu karena Kakak udah siap merelakan posisi CEO buat gue?" cibir Kenzo tanpa menatap wajah sang kakak.

Denis segera menggelengkan kepalanya pelan. "Salah satu di antara kita udah ditakdirkan untuk menduduki posisi tersebut. Baik itu CEO mau pun wakil CEO, akan menjadi posisi milik kita berdua kelak. Gue gak akan semudah itu merelakan posisi utama sama lo. Tapi, gue juga gak mau bersaing dengan lo dalam situasi kayak gini!"

Kenzo mulai mengarahkan tubuhnya pada Denis. "Selain karena Litha, gue gak punya tujuan lain yang bisa gue jadiin alasan untuk menduduki posisi tersebut!"

"Kalo gitu, berhentilah!" tegas Denis seraya menatap Kenzo dengan begitu tajam. "Berhenti mempermainkan perusahaan hanya karena seorang gadis! Daddy, gue dan Alex begitu bekerja keras buat mempertahankan perusahaan. Jika tiba-tiba lo masuk dengan tujuan hanya ingin menyelamatkan seorang gadis, apa itu sepadan dengan kerja keras kami selama ini?"

"Kenapa lo selalu menganggap gue anak kecil?" tanya Kenzo dengan begitu kecewa pada Denis.

"Karena lo memang anak kecil, Kenzo!" sentak Denis. "Lo manja dan gak pernah berpikir dewasa! Lo selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya! Kalo lo emang gak mau terjadi hal buruk pada gadis itu, seharusnya dari awal lo gak usah ngejalanin hubungan sama dia!"

"Apa peduli Kakak? Selama ini Kakak gak pernah mencintai siapa pun, karena itu lah Kakak gak ngerti dengan kondisi gue saat ini!"

"GUE NGERTI, KENZO!" Denis kembali menyentak. "Gue ngerti karena gue juga sedang mengalami itu!"

The Highest ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang