BREAK THE ICE

424 50 0
                                    

Teman-temannya mengatakan, bahwa Lalisa Manoban itu memiliki kehidupan yang membosankan sejak tunangannya meninggal 2 tahun lalu. Mungkin memang begitu.

Lisa merasa seperti robot kehidupan yang hanya bergerak untuk menjalani kehidupan, namun tidak dengan hatinya.

Hari-hari Lisa sebagai pengusaha cukup sibuk. Tapi, tidak seperti dua tahun sebelumnya ketika Lisa masih bisa bertemu dengan teman-temannya, berkumpul di akhir pekan dan bahkan mabuk seraya bersenang-senang dengan teman-temannya, sekarang dia tidak pernah melakukan itu lagi.

Alasannya? Entahlah. Lisa hanya merasa dia tidak bisa melakukan kesenangan itu lagi. Seolah begitu tunangannya mati dalam kecelakaan tunggal, kesenangannya pun lenyap pada hari dimana tunangannya hilang.

“Ini ada gadis bernama Jennie. Dia seorang psikolog. Tapi jangan khawatir. Dia bukan sembarangan psikolog. Karena dia menangani banyak artis besar disana.”

Lisa sedang duduk di meja makan bersama kedua orang tuanya. Ibunya sedang berbicara, tapi Lisa tidak mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya itu.

“Apa maksudmu, Bu?” Bambam, kakaknya, merespon untuk menggantikan Lisa yang enggan bicara sama sekali. “Kau ingin Lisa pergi menemui psikolog?”

Saat itu, Lisa mengangkat pandangan. Psikolog? Dia tidak sakit! Hatinya terluka setelah dua tahun tunangannya pergi, memang. Tapi bukan berarti dia sakit. Astaga, dia baik-baik saja dan dia tidak mau menemui seorang psikolog.

“Bu, benarkah? Kau ingin aku pergi ke psikolog?” Tanya Lisa, datar. Dia tidak tertarik sama sekali.

“Bukan, bukan itu sama sekali! Sebentar lagi Natal dan aku ingin kau membawa seseorang ke rumah. Jadi, apa salahnya jika kau mencoba kencan buta dan jika kalian cocok, kau bisa membawa dia ke rumah sebagai teman kencanmu.” Usul ibunya.

Sebagai ibu, menyedihkan sekali melihat kondisi putrinya seperti sekarang ini.

Lisa yang dulu adalah orang yang tidak tegang. Dia bisa bersenang-senang dengan teman dan keluarganya. Sekarang? Ibunya sering menangis melihat betapa dinginnya Lisa saat ini.

“Bu, jangan konyol! Aku baru saja kehilangan tunanganku!”

“Dua tahun, Lisa.” Kata ayahnya.

“Tapi bagiku, kejadian itu seperti baru saja terjadi kemarin. Aku masih mengingat bagaimana tubuhnya penuh darah.”

Ibunya menunduk, tampak kecewa dan Lisa mengerang karena dia benci melihat dirinya sendiri mengecewakan ibunya. Tapi ayolah, kencan buta? Yang benar saja.

“Bu,” Lisa memulai.

“Aku hanya ingin kau bahagia, Lisa.” Gumam ibunya, perlahan menatap dan Lisa tersentak melihat mata ibunya yang berkaca-kaca. “Apakah salah seorang ibu ingin melihat anaknya bahagia? Aku kehilanganmu dua tahun lalu dan aku ingin kau kembali padaku, Lisa.”

“Aku disini, Bu. Aku disini setiap minggu. Kalian semua melihatku tiap akhir pekan.” Kata Lisa.

Apalagi yang mereka inginkan? Keluarganya menginginkan dia agar selalu datang di akhir pekan? Dia selalu datang. Tapi kenapa, mereka tampaknya tetap tidak puas dengan hal itu.

“Kau ada disini, secara fisik. Tapi aku tidak pernah merasakan kehadiran Lisa yang sesungguhnya. Sejujurnya, aku mendukung apa yang ibumu lakukan, Lisa. Kau harus bangkit. Aku tahu menyakitkan kehilangan orang yang kita cintai. Tapi Lisa, hidup terus berjalan. Kau tidak bisa terus menerus seperti ini. Hidup seperti robot. Kau menyakiti kami yang berusaha ada untukmu juga, tahu?”

Lisa terdiam. Ayahnya adalah orang paling pendiam. Di bandingkan ibunya yang selalu menangis dan mengomel sejak tunangannya meninggal, ayahnya sering kali hanya terdiam dan menatap Lisa dari kejauhan.

JENLISA ONESHOOT (GIP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang