Setelah satu minggu dirawat akhirnya Rena sudah diperbolehkan untuk pulang, tapi tidak dengan bayinya yang masih tetap harus tertahan di rumah sakit sampai keadaanya nanti sudah benar-benar stabil.Rayi mendorong kursi Roda yang Rena duduki sedangkan Revan yang berjalan disisi Rena tak melepaskan genggaman tangannya pada tangan istrinya. Bersama Baby dan Lea juga mereka berjalan menuju ruang bayi tempat di bayi kecil berada.
Rena tak bisa menahan air matanya karena ia hanya bisa melihat bayi kecilnya itu dari luar, Rena ingin memeluknya sambil menggumamkan kata maaf kepada bayinya itu karena kecerobohannya si kecil tidak bisa langsung ikut pulang bersama mereka.
"Maafin Bunda ya, nak" gumam Rena, memperhatikan bayinya yang kini tampak sedang menggeliat.
Bayi laki-laki itu Revan beri nama Kevano, tidak ada arti khusus dalam nama itu tapi Revan menyukainya karena nama itu terdengar mirip dengan namanya, Revano.
"Nanti kita jemput adek sama-sama" ucap Revan, menunduk disamping Rena. Ia memeluk sekilas tubuh istrinya yang tampak terlihat sangat rapuh itu.
Setelah berpamitan pada si kecil Kevan mereka semua memilih untuk langsung pulang. Rayi yang mengambil mobil sedangkan yang lainnya menunggu di lobby rumah sakit. Dengan penuh hati-hati Revan menuntun tubuh Rena masuk ke dalam mobil.
Baby duduk di depan bersama Rayi yang menyetir sedangkan Revan dan Lea menemani Rena di kursi tengah. Rayi mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati. Sepanjang perjalanan Revan tak melepaskan rangkulan tangannya pada bahu Rena, ia membiarkan kepala istrinya itu terkulai lemah di bahunya.
Beruntungnya rumah sakit dengan rumah tak terlalu jauh. Tanpa menunggu waktu lama mereka sudah sampai.
Ternyata keadaan di rumah sudah sangat ramai oleh keluarga Rena maupun Revan, mereka semua berkumpul menyambut kedatangan Rena dan memberi semangat pada Rena.
Rena memilih bergabung dengan yang lain mengobrol bersama, tapi tak lama Revan mengajaknya pergi ke kamar dengan alasan Rena harus banyak beristirahat.
Tangan kirinya Revan gunakan untuk merangkul tubuh Rena sedangkan tangan kanannya ia biarkan Rena mencengkramnya untuk pegangan wanita itu. Revan menuntun dengan hati-hati Rena menuju kamar, untuk sementara Revan memindahkan kamar mereka di lantai bawah agar istrinya itu tak perlu naik turun tangga.
Beberapa kali sempat terdengar ringisan keluar dari mulut Rena ketika dirinya merasakan sakit pada bekas jaitan operasinya.
Sampai di dalam kamar Rena duduk di pinggir kasur sedangkan Revan kini duduk di lantai sambil menyimpan kepalanya dipangkuan Rena.
Rena tersenyum tipis, tangannya terulur untuk mengelus rambut suaminya yang terasa sudah panjang.
"Mas... Kamu nangis?" Tanya Rena, saat merasakan pahanya basah. Tak lama bisa Rena lihat bahu Revan yang tertunduk mulai bergetar pelan.
"Kamu bikin aku takut, Re" ucap Revan yang kembali tak bisa menahan sesak di dadanya. Meskipun sudah menahan diri agar tidak menangis dihadapan Rena, melihat istrinya bisa kembali pulang bersamanya ke rumah membuat perasaan Revan penuh sesak oleh rasa bahagia, perasaanya terasa jauh lebih lega karena ketakutannya kehilangan wanita yang sangat ia cintai ini tidak terjadi.
"Jangan gitu lagi. Jangan tinggalin aku, aku enggak siap" ucap Revan, dengan suara tertahan paha Rena. Bukan hanya tidak siap, tapi Revan juga rasanya tidak akan pernah siap ditinggalkan wanitanya ini.
"Aku disini, Mas, maaf udah buat kamu khawatir" ucap Rena, mengangkat wajah Revan agar menatapnya. Meski awalnya Revan menolak karena pria itu malu jika Rena harus melihat wajahnya yang berlinang karena air mata, tapi pada akhirnya ia menurut. Revan mendongkak bertatapan dengan sang istri, membiarkan istrinya itu melihat kelemahannya.
"Maaf karena kecerobohan aku, semuanya jadi begini" ucap Rena, lirih.
"Jangan minta maaf, aku yang ceroboh enggak bisa jaga kamu, Re. Jangan salahin diri kamu sendiri" ucap Revan, ia bangkit memilih duduk disamping Rena kemudian dengan hati-hati ia bawa tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapan tubuhnya.
"Shh, dada aku sakit, Mas" ucap Rena, dadanya sudah terasa penuh, harus segera ia pumping. Berunutngnya ASI miliknya keluar jadi Rena bisa memberikan pada bayinya meski masih tak bisa secara langsung.
"Aku ambil alat pumpingnya dulu" pamit Revan, ia ingat alat itu tadi ia letakan di sebuah tas yang masih ada di dalam mobil.
Ketika Revan kembali ke kamar ia sudah bisa melihat ketiga anaknya sudah mengelilingi Bunda mereka. Terlihat juga kini Lea tengah menangis sambil memeluk tubuh Bundanya.
Semenjak Rena sadar Lea memang tak mau jauh dari Bundanya itu. Dan yang paling membuat Revan juga yang lainnya khawatir adalah beberapa hari terakhir Lea bisa tiba-tiba menangis dengan alasan tidak jelas. Lea juga menjadi sering melamun dan tampak kurang bersemangat, tak seperti biasanya yang terlihat selalu ceria.
Revan bersama Baby dan Rayi sudah membahas perihal perubahan Lea, mungkin itu semua adalah bentuk rasa trauma Lea atas peristiwa jatuhnya Rena yang hampir merenggut nyawa sang Bunda. Pasti tidak mudah untuk anak sekecil Lea melalui itu semua. Maka sudah diputuskan jika masih tidak ada perubahan akan Revan ajak putrinya itu untuk konsultasi pada psikolog, Revan tak ingin Lea menyimpan rasa trauma itu seumur hidupnya yang malah bisa saja akan menganggu tumbuh kembang putri kecilnya itu.
"Bunda mau pumping dulu, nanti tolong anterin ke rumah sakit ASI-nya" ucap Revan, yang Rayi juga Baby balas anggukan kepala.
Rayi memilih berpamitan keluar dari kamar sedangkan Baby dengan telaten membantu sang Bunda memerah air susunya.
"Adek mau mimi susu Bunda juga?" Tanya Revan, meraih Lea naik ke atas pangkuannya.
"Adek sudah besar, Papa" balas Lea, yang kini menyandarkan dengan nyaman tubuh kecilnya pada dada sang Papa.
"Sudah punya adik" tambah Lea.
"Kalo sudah punya adik panggilannya diubah, dong. Bukan adek tapi kakak" ujar Baby.
Sebenarnya sejak awal kehamilannya Rena sudah meminta kepada suami dan kedua anaknya untuk mengubah panggilan mereka kepada Lea, tapi hanya mereka dengarkan tanda dilaksanakan.
"Kakak Lea" panggil Revan, sambil mencium pipi tembam Lea yang membuat putri kecilnya itu tersenyun malu-malu.
****
Menuju ending nih, yang kangen sama si Boy siap-siap ya bentar lagi itu laki muncul
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time [21+]
ChickLit"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan kemudian ia malah sudah sah diperistri oleh Revano, seorang pria dari masa lalu yang sudah menorehkan...