"Maaf Rena..."Rena terbangun dengan tiba-tiba dari tidurnya. Dengan nafas terengah hebat pandangan wanita itu mengedar, menatap sekeliling ruangan tempatnya berada hingga tatapan matanya jatuh pada sang putra yang terlihat masih tertidur nyenyak disebelahnya. Rena ingat jika semalaman ia menjaga putranya yang sedang demam.
Setelah sadar dimana tempatnya saat ini berada, Rena mencoba mengatur nafasnya, menarik dan mengeluarkannya secara perlahan. Tangan kanannya Rena gunakan untuk mengusap dahinya saat teringat kembali jika tadi ia sudah bermimpi. Semuanya hanya mimpi tapi kini dadanya sudah sesak oleb rasa sakit. Mimpi itu, mimpi buruk yang dulu pernah terjadi, mimpi buruk yang mengubah hidupnya seutuhnya.
"Sialan!" Umpat Rena pelan, setelah sekian tahun bisa-bisanya mimpi itu kembali hadir menghantuinya. Memimpikan kejadian yang pernah terjadi di masa lalu, dimana ia dulu dicampakan oleh seorang pria yang dijodohkan dengannya padahal saat itu tanggal pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari.
Rena yakin mimpi itu hadir karena belum lama ia kembali bertemu dengan pria penyebab mimpi buruk dalam hidupnya itu pernah terjadi. Rena pastikan itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka, tak akan ia biarkan pria itu mengusik hidup tenangnya.
Rena menatap jam yang ada di kamar sang putra sudah menunjukan pukul 5 pagi. Meski langit di luar masih gelap Rena memilih beranjak bangun. Pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri lalu setelahnya bergegas pergi ke dapur menyiapkan sarapan untuk dirinya juga sang putra.
Bahan makanan di kulkas masih sangat lengkap dan segar karena Rena selalu rutin mengisinya. Meski hanya tinggal berdua, Rena tak pernah ragu menyetok banyak bahan makanan sebab ia tahu putra satu-satunya itu sangat suka sekali makan. Dalam keadaan sakit seperti sekarang ini juga Rena tak kebingungan harus masak apa sebab meski sakit biasanya makan Rayi masih sangat lahap.
Tangan Rena dengan cekatan mengolah semua bahan makanan itu menjadi makanan-makanan lezat pengunggah selera makan. Bukan maksud menyombongkan diri tapi keahlihan memasaknya adalah hal yang sangat Rena banggakan. Meski melakukan semuanya seorang diri Rena berhasil menyelesaikannya dengan mudah dan cepat.
Tepat ketika Rena sedang membereskan dapur, ia merasakan sebuah tangan melingkari lembut lehernya.
"Bun..." Panggil Rayi dengan suara lirih, pria itu menyandarkan kepalanya yang masih terasa berdenyut sakit di bahu sang Bunda.
"Kepalanya masih pusing?" Tanya Rena, tangannya terulur untuk menyentuh dahi Rayi, mengecek suhu tubuh putranya yang beruntungnya sudah tak setinggi semalam.
"Tangan Bunda bau bawang" Rayi menyingkirkan perlahan tangan sang Bunda dari dahinya. Lalu, pria itu memilih berjalan menuju meja makan, sudah banyak makanan tersaji disana. Nafsu makan Rayi langsung bangkit melihat makanan yang sudah Bundanya itu masak.
"Izin aja dulu ya sehari" ucap Rena, sambil menyerahkan piring berisi nasi untuk Rayi.
"Aku ada ujian, Bun"
"Ya udah, Bunda anterin!"
"Gak mau, malu!" tolak Rayi yang langsung membuat Rena mencibir pelan.
"Kok malu?" Tanya Rena, tak terima atas pernyataan putranya.
"Aku udah besar, Bun" balas Rayi, sambil menghembuskan nafasnya pelan.
"Terus kenapa? Udah besar bukan berarti kamu bukan anak Bunda lagi, kan?"
"Mulai kambuh lebaynya" ujar Rayi yang membuat Rena terang-terangan mencibir putranya itu.
"Ya udah tapi selesai langsung pulang ke rumah, jangan futsal dulu. Hari ini Bunda cuma sebentar ke toko"
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time [21+]
Genç Kız Edebiyatı"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan kemudian ia malah sudah sah diperistri oleh Revano, seorang pria dari masa lalu yang sudah menorehkan...