****
Selesai makan dan membereskan bekas makan malam, Rena kembali pergi menuju kamar Baby. Mengecek keadaan gadis itu. Suhu tubuh Baby sudah mulai turun. Tak seperti tadi, kali ini tidur Baby juga terlihat jauh lebih tenang. Rena pandangi wajah manis gadis itu, belum lama bersama tapi rasa sayangnya untuk Baby sudah setara dengan rasa sayangnya pada putranya sendiri.
"Ayo ke kamar" ajak Revan.
"Aku temenin Baby disini aja" tolak Rena, ia bergerak menuju sisi kasur Baby yang masih kosong kemudian membaringkan tubuhnya disana.
"Aku mau tidur sama Baby, aku takut nanti dia kebangun dan butuh sesuatu" tambah Rena. Ia tak tega meninggalkan Baby sendirian, karena setiap Rayi sakitpun ia memilih tidur dengan Rayi untuk menjaga sang putra jika sewaktu-waktu Rayi terbangun dan membutuhkan bantuannya.
Rena akan lakukan itu juga kepada Baby, anak perempuannya. Gadis itu memang terlihat tegar, lebih tepatnya pura-pura tegar karena Rena yakin Baby juga butuh banyak perhatian yang selama ini tak gadis itu dapatkan dari orang-orang terdekatnya.
"Coba liat wajah Baby, apa yang bikin kamu enggak suka sama anakmu sendiri. Baby anak kamu dengan Karin, enggak bisa aku bayangin gimana sedihnya karin karena selama ini kamu keliatan enggak peduli sama anak kalian sendiri" ucap Rena, menatap Revan yang berdiri tepat di sisi kasur yang Baby tiduri. Tangan Rena terulur, meraih tangan kanan Baby untuk ia genggam.
"Dengerin aku sekali Mas, Baby putri kamu, coba kasih sedikit aja perhatian kamu untuk Baby. Kalo kamu masih salahin Baby karena kematian Karin, sama aja kamu salahin Takdir yang sudah Tuhan kasih untuk kamu!" Kali ini Rena mengucapkannya dengan suara sedikit bergetar karena dadanya tiba-tiba saja sangat sesak. Matanya juga tak lepas menatap Revan yang memberikan tatapan kosong padanya.
"Baby anak kamu!" Ujar Rena, penuh penekanan.
"Kamu tega buat hidup anakmu sendiri menderita?"
Genggaman Rena pada tangan Baby sepertinya terlalu kencang karena membuat gadis itu meringis dalam tidurnya, hingga perlahan mata yang sejak tadi terpejam itu mulai terbuka.
"Eungh... Tante" lenguh Baby, pelan. Matanya mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang masuk.
"Mau minum?" tanya Rena, yang hanya Baby balas dengan anggukan pelan.
Dengan tatapan matanya Rena memerintahkan Revan untuk memberikan apa yang Baby inginkan. Segelas air sudah tersedia di samping nakas tempat tidur Baby, tapi Revan tak kunjung bergerak meraihnya. Pria itu hanya diam sambil menatap wajah Baby dan Rena bergantian.
"Tolong ambilin Baby minum, Mas!" Perintah Rena, penuh penekanan.
Entah dorongan dari mana, Revan mulai meraih segelas air minum yang sudah tersedia. Meski sedikit canggung, Revan mengatur posisi tidur Baby sedikit tegak duduk agar putrinya itu bisa minum melalui sedotan.
Baby yang sebenarnya belum sepenuhnya sadar itu menyedot air dalam gelas hingga habis setengahnya. Setelahnya Baby kembali membaringkan tubuhnya hingga tak lama mata gadis itu kembali terpejam.
Revan kini mulai larut dalam lamunannya sendiri. Revan perhatikan wajah sang putri yang tampak pucat itu, entah kapan terakhir kali Revan benar-benar memeprhatikan wajah Baby sedalam ini.
Revan tahu jika ucapan Rena banyak benarnya, anak mana yang ingin dilahirkan hanya untuk disia-siakan. Hanya saja melihat wajah Baby hanya membuatnya mengingat wajah mendiang istrinya. Dan itu selalu membuatnya sedih. Apalagi semakin dewasa wajah Baby semakin mirip saja dengan mendiang Karin. Maka dari itu selama ini Revan memang sengaja membangun jarak agar ia bisa sedikit melupakan sedihan hatinya karena ditinggal pergi oleh istrinya dulu. Tapi, jarak yang ia bangun ternyata terlalu jauh, hingga ia malah hampir sampai di tahap membenci putri kandungnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time [21+]
ChickLit"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan kemudian ia malah sudah sah diperistri oleh Revano, seorang pria dari masa lalu yang sudah menorehkan...