Hay salam hangat dariku, semoga kalian sehat selalu, maaf ya baru up lagi. Yaudah gausah lama-lama kalau gitu hehe.
*Happy reading*
*********
Setelah sampai di ruang kerja Rey, Luna berhenti di dekat pintu, masih diliputi rasa canggung yang tak bisa ia sembunyikan. Rey menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, lalu menganggukkan kepala ke arah kursi di depannya, memberikan isyarat agar Luna duduk. Dengan hati-hati, Luna melangkah mendekat dan duduk, namun tak mampu menatap langsung wajah ayahnya.
Di dalam ruang kerja yang sunyi itu, suasana terasa begitu berat. Ingatan akan masa kecilnya, di mana Rey yang sering menunjukkan sikap keras dan dingin padanya, kembali terlintas di pikirannya. Meski ia tahu tak ada kesalahan yang diperbuatnya, Luna tak bisa menyingkirkan rasa takut yang menghantui, takut akan kata-kata tajam atau keputusan yang bisa memisahkannya dari tempat ini.
Rey akhirnya memecah kesunyian dengan suara rendah, namun penuh ketegasan, "Luna, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Selama ini... mungkin kamu merasa aku tidak peduli, atau bahkan tidak ingin dekat denganmu."
"Kau pasti sudah tau jawabannya!"
"Karna, mama?" Balas luna gugup
"Hhhmmm, kau benar" Rey mengangguk pelan.
Rey melanjutkan, "aku tahu selama ini banyak keputusan yang mungkin membuatmu merasa... terabaikan. Tapi ada satu hal yang aku ingin tahu—tentang bagaimana perasaanmu, tinggal di sini."
Luna menelan ludah, sedikit tak menyangka arah pembicaraan ini. Kata-kata Rey berbeda dari yang ia bayangkan, namun ia tetap berjaga-jaga, tidak ingin terburu-buru menganggap ini sebagai tanda baik.
Luna menatap ayahnya dengan ragu, merasa bingung. Ini pertama kalinya Rey berbicara tentang perasaannya, dan Luna tidak yakin harus menjawab seperti apa. Namun, ia memutuskan untuk menjawab dengan jujur meski sedikit gugup. "Aku… aku bersyukur bisa berada di sini, walau mungkin papa tidak menginginkanku."
Rey terdiam, ia menghela nafasnya tampak berpikir. Sorot matanya melembut sejenak, namun kembali tegas saat berkata, "Kamu tahu, ada rencana untuk mengirimmu ke Paris… Tapi Aku juga perlu memastikan bahwa itu yang terbaik untukmu, atau mungkin ada hal lain yang bisa dilakukan di sini. Jadi, apa pun keputusan aku nanti, kamu harus bisa menerima dan tetap menjalani hidupmu dengan baik. Aku tidak ingin kamu melihat ini sebagai bentuk ketidaksukaan."
Luna mengangguk pelan, walau masih belum sepenuhnya mengerti arah pembicaraan Rey. Namun, ia bisa merasakan sedikit ketulusan dalam kata-kata ayahnya, dan itu cukup baginya untuk saat ini. Meski masih ada keraguan, percakapan ini menyalakan sedikit harapan dalam hatinya—harapan bahwa suatu hari nanti, ia mungkin benar-benar bisa merasakan kasih sayang dari Rey, meski secara perlahan.
Rey merasakan sesuatu yang berbeda saat mengobrol dengan Luna, sebuah perasaan yang sudah lama terkubur namun kini muncul kembali. Ini pertama kalinya ia benar-benar memperhatikan putrinya, memandang wajah yang begitu mengingatkannya pada mendiang Lussi, istrinya yang begitu dicintainya. Kehilangan Lussi adalah luka yang mendalam, dan Luna—dengan wajah dan sikapnya yang lembut—selalu menjadi pengingat yang tak terhindarkan. Karena itulah, setiap kali ia melihat Luna, ia lebih memilih untuk menjauh, menyimpan perasaannya sendiri, meski harus mengorbankan dan menyakiti hati putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Luna (END)
Teen Fiction⚠️jangan plagiat‼️ide mahall sengkuu, yuk guys sebelum baca janlup follow dulu⚠️ "Orang menangis bukan karena mereka lemah. Tapi, mereka menangis karena telah berusaha kuat dalam waktu yang lama" -Luna Ruzelia "Tujuanku adalah selalu membuatmu, ter...