part 14

54 7 0
                                    

***********

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***********

Setelah candaan Willi dan tawa Luna mereda, mereka berdua menikmati momen hening di taman. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, dan suara gemericik air dari kolam kecil menambah suasana tenang. Luna mulai merasa lebih ringan, meski masalah yang ia hadapi masih jauh dari selesai.

"Kamu tau, Wi,"kata Luna, menatap air mancur, "terkadang aku merasa... aku nggak punya pembelaan atas hidupku. Papa, sepertinya selalu menyalahkan aku, bahkan papaku tidak pernah peduli tapi dia juga tidak mau aku mendapatkan masalah seolah ia peduli dan melimpahkan kesalahan yang tidak aku perbuat sama sekali."

Willi mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Apa alasan papamu seperti itu?"

Luna diam sejenak, rasanya untuk itu ia tidak ingin membicarakan hal yang membuatnya nanti akan sedih. Mengingat ibunya meninggal, setelah melahirkannya. Pada saat kedua orang tuanya mengalami kecelakaan mobil.

Willi tersenyum hangat, "jangan dipaksa kalau tidak mau melanjutkan ceritamu, kalau kamu sudah siap menceritakan semuanya, ceritakan saja padaku"

Luna pun akhirnya mengangguk seraya mengembangkan senyumnya.

Mereka duduk dalam keheningan sejenak sebelum Willi berbicara lagi. "Tapi, jujur, Lun... Aku pengen nanya sesuatu." Willi tampak ragu sejenak, tapi akhirnya melanjutkan, "Kenapa kamu selalu nurut sama Danny, bahkan kalau dia jelas-jelas udah salah?"

Pertanyaan itu membuat Luna terdiam sejenak. Ia menggigit bibirnya, memikirkan jawabannya. "Aku nggak tahu, Wi. Mungkin karena... aku udah terbiasa. Kak danny yang selalu keras, dan aku nggak pernah bisa benar-benar bisa melawan dia. Lagipula, aku tahu dia sebenarnya peduli sama aku, meski caranya... ya, sering kali kasar."

Willi menghela napas panjang. "Aku ngerti, tapi kamu juga punya hak buat bilang 'nggak' kalau dia udah kelewatan, Lun. Kamu juga berhak ngelindungin diri kamu sendiri."

Luna menunduk, merenungkan kata-kata Willi. Selama ini, ia selalu merasa terjebak antara ingin mengikuti kata hatinya sendiri atau tunduk pada keinginan kakanya. Tapi mendengar Willi mengatakan itu membuatnya sadar bahwa mungkin, ia perlu lebih tegas terhadap dirinya sendiri.

"Terima kasih, Wi," kata Luna, kali ini dengan senyum yang lebih tulus. "Mungkin aku perlu mulai belajar untuk bilang 'tidak'."

Willi tersenyum lebar, lega melihat Luna sedikit lebih terbuka. "Aku bakal ada di sini buat kamu, apa pun yang terjadi. Kalau kamu butuh apa-apa, jangan ragu buat ngomong sama aku, oke?"

Luna mengangguk, merasa lebih tenang. "Oke, terima kasih, Wi. Aku senang bisa ngomong sama kamu hari ini."

Willi menatap Luna dengan perasaan campur aduk. Dia sebenarnya ingin mengatakan lebih banyak tentang perasaannya, tapi dia menahan diri. Mungkin belum saatnya. Baginya, yang terpenting saat ini adalah memastikan Luna baik-baik saja.

Hari mulai beranjak senja, dan mereka pun akhirnya memutuskan untuk kembali. Saat mereka berjalan kembali menuju kampus, Luna merasa sedikit lebih kuat dan bersemangat untuk menghadapi hari-hari ke depan. Meskipun masalahnya belum selesai, setidaknya sekarang ia tahu bahwa ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya, seperti Riri dan Willi.

Dear Luna (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang