[CHAPTER 28]

1K 72 14
                                    

WAR OF HEART—PAGE 28
.
.


"Nggak ada yang rewel sih, cuma ada satu bapak-bapak yang rempong. Tiap lima belas menit mesti keluar bawa mic, tanya baterainya masih aman atau enggak." Curhat Eva mengenai keadaan tamu yang dimomongnya kali ini. Kini mereka sedang berjalan di koridor ballroom yang hening. "Liat aja, berapa menit lagi mesti keluar. Mampus tuh Dio sama Johan."

Selesai Eva mengatakan itu, jauh di ruang meeting sana betulan terjadi. Pintu ruang meeting terbuka—membuat ketiga cowok itu kompak menoleh.

"Itu dia," bisik Dio pelan di samping Reinard. Rupanya cowok-cowok itu membicarakan hal yang sama.

Reinard mengangguk samar, mengamati seorang bapak-bapak bertubuh gempal agak pendek dan berambut cepak itu datang mengampiri Johan yang posisinya lebih dekat dengan pintu. Bapak itu menyodorkan sebuah mic yang langsung diterima Johan, mengecek kondisi baterainya lalu membuka mic tersebut.

Dio yang berada di sampingnya manggut-manggut, "Udah habis rupanya." Ucapnya kala Johan mengganti baterainya, sohibnya tersebut sempat melirik mereka, membuat Dio langsung membuang muka sedangkan Reinard mendongak pura-pura tertarik dengan ceiling Mustika.

Eva kembali bersungut-sungut. "Tadi sempet ngomel-ngomel karena wifinya nggak bisa dipakai. Tau kenapa?"

"Kenapa?"

"Ternyata si bapak nggak sengaja aktivin mode pesawat. Gila! Panas kupingku diomelin terus, mana tadi Dio sama Johan lagi cabut!"

Misha menatap Eva geli saat seniornya itu terus mengomel.

Racauan Eva mereda, teringat sesuatu perempuan tersebut mencolek lengan Misha. "Eh, hari ini Shafira libur ya?"

"Umm, iya." Misha menggaruk lehernya.

"Gimana tangannya? Ngeri banget, aku denger dari anak-anak katanya tangan dia robek ya gara-gara dijailin Arjuna?" Eva menggeleng prihatin. "Kasian banget. Emang brengsek tuh si Arjuna."

"Kalau Yehuda sampai dengar, mati tuh anak!" Lanjutnya. Misha hanya mengangguk menyetujui, secara tidak sadar tangannya mengelus lengannya yang masih nyeri hingga membuatnya mengerutkan kening. Tidak sadar kalau tangannya juga masih terluka.

"Shafira enggak kenapa-kenapa 'kan? Biasanya kalau habis kecelakaan gitu langsung demam karena syok. Kasian banget dia."

Misha tidak tahu harus menjawab bagaimana, pasalnya dia benar-benar tidak tahu keadaan temannya tersebut. Tadi Misha hanya bertemu sebentar, dan menurut penglihatannya Shafira baik-baik saja. Bahkan ceria seperti biasanya.

Akhirnya Eva kembali lagi ke main building setelah mengambil apa yang dibutuhkannya. Sedangkan Misha langsung menuju dishwash, mulai menyiapkan berbagai macam equipment yang dibutuhkan.

"SHA???" Sebuah suara memanggilnya dari koridor, menggema ke seluruh penjuru ruangan hingga si pemilik nama memejamkan mata. "MISHA—oh! Udah disini ternyata."

Misha tersenyum tipis seraya mengangkat alis, mempertanyakan maksudnya tanpa suara membuat lelaki itu tertawa canggung dan menggaruk kepala. "Misha, nanti tolong sekalian taruh trolley ya! Biar bisa langsung di display."

"Oke," Sang gadis mengangguk dua kali.

Dua jam kemudian ketika Misha sudah nyaris selesai mengerjakan tugasnya Rangga datang lagi, ditangannya memegang sebuah kunci motor yang diberi gantungan berupa tali panjang. Memainkan di jari telunjuknya seraya bersenandung.

"Misha udah selesai?" Tanya lelaki tersebut. Caranya berbicara pada Misha selalu saja seperti memanggil anak kecil.

Lalu Misha yang sedang meletakkan tumpukan terakhir dessert plate ke trolley mengangguk. Menepuk-nepukkan telapak tangannya ke apron sambil menjawab pertanyaan Rangga. "Udah kak, tinggal di display aja."

WAR OF HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang