BAB 4B

27.5K 1.4K 20
                                    

Yang ku lihat saat pertama kali membuka mata adalah ruangan serba putih dengan dominasi bau obat obatan yg begitu menyengat di indra penciumanku. Aku mengedarkan kepalaku kesekeliling ruangan, mencari keberadaan seseorang yang barangkali bisa ku tanyai mengapa aku bisa berakhir di tempat ini. namun tak ada siapapun disini. Ruangan ini kosong, hanya ada diriku yang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus tertancap di tangan kiriku. Aku menghela napas panjang lalu membuang pandangaku ke arah jendela kaca yang menjulang tinggi tepat di hadapanku.

" cari tahu informasi tentang orang itu sedetail mungkin. Saya mau malam ini saya sudah menerima hasilnya."

" baik pak akan saya laksanakan."

" lakukan serapi mungkin, jangan sampai ada yang curiga."

" saya mengerti"

Samar aku seperti mendengar seseorang ( atau lebih tepatnya dua orang) tengah berbincang dengan nada rendah dari balik pintu kamar rawatku yang tak tertutup secara sempurna. aku bangun dan beranjak duduk sembari menatap lurus kearah pintu bercat coklat gelap. Menunggu seseorang yang akan membuka pintu tersebut.

" sudah sadar rupanya." Suara datar azka menginterupsi kegiatan setengah melamunku. Lelaki itu berdiri di depan pintu dengan penampilan yang nampak beda dari biasanya( terlihat acak2an)

Aku tersenyum cangung. " baru saja." Kataku.

Dia mengangguk kecil kemudian berjalan ke arahku. " kenapa aku bisa disini?"

" kau tadi pingsan, dokter bilang karena kelelahan." Katanya setelah menarik kursi di samping ranjangku lalu mendudukkan tubuhnya disana.

Aku mengangguk - angukkan kepalaku sembari ber-oh ria. Respon secara tak sadar. " maaf sudah merepotkanmu." kataku ketika suasana kembali pada hending yang tidak mengenakkan.

Dia mendongakan kepalanya, manatap mataku sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. " jangan terlalu di fikirkan, istirahatlah. Dokter bilang kau butuh istirahat." Katanya acuh tak acuh dengan mata kembali fokus pada ponselnya, suaranya terdengar lelah dan tidak bersemangat. Nampaknya ada sesuatu yang besar tengah menganggu pikirannya.

" Davina.." setelah hening sekitar 20 menit, azka memanggil namaku, suaranya terdengar ragu untuk sesaat. AKu menolehkan kepalaku dan mendapati pandangannya justru menajam ke arah lantai yang dingin.

" hmmm." Sahutku dengan sebelah alis terangkat.

" apa kepalamu pernah cidera , kecelakaan misalnya."

Pertanyaannya membuat keningku berkerut semakin sempurna. Aku menatap matanya ketika pandangan kami bertemu, dan aku baru menyadari ada kegelisahan disana, di balik sorot matanya yang selalu nampak datar.

" tidak pernah, kenapa memang?"

Dia menghela napas panjang. " kau yakin tidar pernah ada masalah dengan kepalamu?"

Aku mengangguk yakin. " kepalaku baik - baik saja azka, aku bahkan tidak pernah merasa pusing." Aku berkata sungguh – sungguh.

Dia mengusap wajahnya dengan kasar lalu beranjak dari duduknya. " istirahatlah, aku mau mencari kopi sebntar"

Aku menatap kosong pada pintu kamar rawatku yang baru saja tertutup setelah kepergian azka. Meninggalkan gelombang kebingungan yang perlahan datang menghantam kesadaranku. Bingung dengan apa yang baru saja terjadi disini. Ada apa dengan pria itu? kenapa sikapnya aneh sekali hari ini, dia yang biasanya selalu terkontrol nampak gusar setengah frustasi. Penampilannya terlihat acak acakan, bahkan ada bekas luka di pelipis kanannya, astaga apa dia habis adu jotos dengan seseorang? Gagasan itu langsung aku buang jauh - jauh dari kepalaku, azka adalah tipikal pria yang sangat logis. Menyelesaikan masalah dengan adu fisik bukanlah gayanya. Tapi dari mana luka itu berasal? Itulah yang sekarang menjadi pertanyaanku. Dering ponsel yang memekakan telinga menginteruspsi lamunanku, aku menoleh kemudian meraih ponsel yang terletak di atas nakas samping ranjangku.

FORBIDDEN SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang