***
" Bas, Stop! Jangan menatapku seperti itu." Seruku ketika mendapati pria yang kini tengah duduk di hadapanku masih bergeming pada posisinya, duduk tenang sambil menatapku dalam diam. Oke mungkin untuk jangka waktu lima menit atau paling lama sepuluh menit berlalu dalam keadaan seperti ini ( dengan dia terus menatapku tanpa berkedip ) aku masih bisa bersikap tidak peduli. Tapi kini waktu telah berlalu hampir lebih dari dua puluh menit, dan pria itu masih diam seribu bahasa sambil terus menatapku dengan berbagai macam ekspresi di wajahnya.
Jujur, di tatap dengan cara seperti itu membuatku sangat tidak nyaman, Sungguh. Apa lagi yang menatapku adalah Bastian O'Pry, mantan kekasihku.
" Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu?" Tanya Bastian setelah lama diam. Tangannya terulur, meraih cangkir black coffe pesanannya dan menyesapnya perlahan. " Karena aku jujur saja, aku meragukan kesiapanmu." Lanjutnya, menyandarkan bahu di sofa, kemudian melepat kedua tangan didepan dada dan kembali menatapku.
Aku mengangguk sambil menghela napas panjang.
" Siap tidak siap aku harus menghadapinya, apapun resikonya."
Aku sadar betul, satu – satunya jalan untuk keluar dari semua ketidak jelasan ini hanyalah menghadapi masalah tersebut dengan segala macam konsekuensi yang akan aku terima nanti. Tidak peduli seberat apa atau semengerikan apa kenyataan yang akan aku hadapi nanti, aku akan menerimanya dengan kepala terangkat. Karena sehebat apapun aku menghindar, sosok itu akan terus menerorku dengan berbagai cara. Dan itu sangat mengerikan.
" Termasuk kehilangan akal sehatmu?"
Pertanyaan Bastian beberapa detik yang lalu mampu membuat leherku mendadak kram, teramat sulit untuk di gerakan, bahkan sekedar untuk menoleh sekalipun.
" Apa maksudmu?" Cicitku, seperti suara tikus tergenjit pintu, sangat pelan.
" Jika semua ingatanmu yang menghilang telah kembali, apa kau siap menerima segala kenyataan yang akan kau hadapi nanti?"
Aku masih diam, tak mampu menjawab pertanyaan Bastian. Bibirku rasanya begitu kelu, semua yang ingin ku ucapkan terhenti begitu saja di tengorokan.
" Apa kau ingat kapan dan dimana pertama kali kita bertemu?"
Aku mengangguk pelan. " Di London, saat aku hampir tengelam di sungai Thames." Kataku.
Bastian menggeleng tanpa melepaskan tatapannya dariku.
" Kita pertama kali bertemu di sini. Di Florence, saat kau mencoba bunuh diri dengan melompat ke sungai Arno."
Mendengar kata bunuh diri tak urung membuat kepalaku langsung mengeleng dengan keras, tidak tidak tidak. Tidak mungkin itu terjadi, tidak mungkin aku pernah mencoba bunuh diri. Sangat mustahil, aku adalah orang yang selalu berfikir dengan mengunakan logika dan kewarasan, bisa di bilang aku adalah wanita dengan tipikel berfikir realistis. Lantas barusan Bastian berkata kalau aku pernah mencoba bunuh diri dengan terjun ke Sungai? Itu lelucon yang sangat tidak lucu, sungguh.
" Tidak mungkin... tidak mungkin Bastian. Kau pasti bercanda."
" Itulah kenyataannya Davina." Tegas, suara Bastian bahkan terdengar tak terbantahkan.
" Dokter bilang kau mengalami Depresi berat setelah seseorang mengambil bayimu tepat setelah kau melahirkan. Kau hanya diam dengan pandangan kosong, sudah seperti mayat hidup. Hampir dua minggu kau di rawat intensif tapi sama sekali kau tidak menunjukan kemajuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN SCANDAL
RomanceSebagian bab di Private secara acak **** Satu hal yang aku tau, jika satu - satunya sumber kebahagiaanku adalah hidup bersama Azka. Pria yang berhasil menjungkir balikkan duniaku hanya karena sentuhannya yang memabukkan. Sentuhan yang selalu me...