BAB 30

13.5K 1K 47
                                    

***

Kupikir setelah pertemuan kami seminggu yang lalu, aku tidak akan pernah bertemu kembali dengan Azka. Menganggap jika urusan di antara kami benar – benar telah usai sehingga tidak ada lagi hal yang perlu untuk di bahas. Sebagaimana yang ku inginkan sejauh ini, aku bisa melanjutkan hidupku dengan baik bersama Rachael dan Jackob. Menciptakan keluarga bahagia tanpa ada bayang – bayang Azka Kulkov di belakangku.

Namun semuanya berubah ketika pagi tadi kantorku kedatangan tamu yang sama sekali tidak pernah ku duga sebelumnya. Dinasti Wijaya, salah satu asisten kepercayaan Azka. Pria berkaca mata dengan lesung pipi di pipi kanannya itu datang dengan membawa kabar yang kurang mengenakkan untuk di dengar. Sebuah berita yang menimbulkan pergolakan batin yang sangat hebat pada diriku, membuat kosentrasiku mendadak kacau balau hingga saat jam makan siang tiba.

Dan disinilah aku sekarang, duduk canggung di sofa ruang tamu penthouse mewahnya sambil menunggu Azka keluar dari kamarnya. Untuk sejenak aku mengedarkan pandanganku kesekeliling, mengamati keadaan di sekitarku. Jika sekarang di bayangan kalian kondisi apartemen Azka sangat berantakan dengan bungkus makanan berhamburan di mana – mana, botol minuman yang tersebar di segala tempat apalagi berbagai macam pakaian yang tercecer di mana – mana khas tempat tinggal pria maka buanglah jauh – jauh bayangan itu dari pikiran kalian. Tempat ini sangat rapi, bersih dan semua benda teratur berada pada tempatnya. Hanya saja yang membedakan tempat ini dari sebelum aku meninggalkannya hanyalah suasana yang jauh lebih terkesan dingin, kaku dan hening, terlalu hening malah.

Ponselku berdering beberapa menit kemudian, ketika aku mengeluarkan benda pipih itu dari dalam tasku, aku melihat nama Azka muncul di layar ponselku.

"Kau sudah sampai?" tanya Azka bahkan sebelum aku mengucapkan sapaan sebagaimana seharusnya. Suaranya terdengar lebih berat dari beberapa menit yang lalu saat aku mengabarkan jika aku berada di lobby dan hendak mengunjungi kediamannya.

"Sudah sejak 10 menit yang lalu, aku di ruang tamu."

"Langsung ke kamar saja."

Dan panggilan terputus begitu saja.

Aku menatap tak percaya layar ponselku yang kini berwarna gelap pertanda jika sambungan teleponku dengan Azka benar – benar telah berakhir beberapa detik yang lalu.

Menghela napas panjang, aku beranjak dari duduk sambil meraih plastik berisi bika ambon kesukaan Azka kemudian meletakkan makanan itu di meja makan sebelum melangkah masuk ke kamar Azka. Begitu pintu kamarnya ku buka hal pertama yang tertangkap oleh indra penglihatanku adalah sosoknya yang tengah meringkuk di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus tubuhnya.

"Kau baik – baik saja?" aku bertanya ketika langkah kakiku semakin dekat ke arah ranjangnya.

Azka membuka matanya perlahan kemudian mengangguk pelan. "Aku baik – baik saja." Suaranya terdengar begitu lirih di telingaku.

"Sudah makan?" tanyaku tanpa bisa menutupi nada khawatir dalam suaraku. Aku bergerak maju, mendudukkan tubuhku di sisi ranjangnya yang masih kosong kemudian meletakkan tanganku di dahinya. "Kau demam, aku buatkan makan dulu. Wait," ujarku kemudian beranjak dari duduk lalu bergegas ke dapur untuk membuatkan bubur khusus untuk Azka.

Aku sadar sikapku ini bisa saja membuat Azka bingung di tambah lagi dengan pembicaraan kami tempo hari yang mana aku tetap bersikukuh pada keinginan ku untuk berpisah. Tapi aku juga tidak bisa pungkiri bahwa jauh di dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku begitu mengkhawatirkan keadaan Azka karena bagaimanapun juga namanya masih tersimpan dengan begitu rapi di sana, belum tergantikan oleh siapapun hingga detik ini. Apalagi melihat kondisi kesehatannya yang sedang drop seperti ini membuat pertahananku runtuh tak bersisa. Aku tidak bisa lagi bersikap sok tidak peduli pada Azka.

FORBIDDEN SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang