***
Aku menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku kemudian mengalihkan pandanganku keluar jendela. Pukul empat lebih lima belas menit itu berarti sudah lima belas menit pula aku mengirim voice note ke whatsappnya dan pria itu masih bergeming di tempat, sibuk dengan entah apa yang ada di pikirannya. Pandangannya kosong menatap ke arah jalanan, sesekali tangannya mengusap wajah dengan kasar, terlihat begitu gusar.
"Kau pikir setelah aku mengetahui semuanya aku akan melepaskannya kembali? Jangan mimpi sialan!"
Langkah kakiku yang hendak menghampirinya sontak terhenti begitu menyadari dia tengah mengumpat kasar pada seseorang yang ada di seberang telepon. Keningnya mengkerut dalam dengan rahang mengeras. Beberapa kali ku lihat pria itu mengembuskan napas panjang, terlihat sekali jika dia sedang mencoba mengendalikan emosinya.
"Selama ini aku sudah cukup bersabar Azka. Aku diam karena ku pikir dia bahagia bersamamu tapi ternyata kau hanya mempermainkannya saja. Kalau dari awal aku tau kau bisa sebajingan ini aku tak segan – segan membawanya pergi setelah aku menemukan keberadaan kalian."
Rasanya ada yang aneh, seperti ada belasan kupu – kupu terbang di atas perutku. Gelenyar yang mengelitik, aku sama sekali tidak menyangka akan mendapati reaksi seperti ini dari Jackob. Namun disisi lain aku merasa ada yang salah, maksudku apakah perkataanku terlalu menyudutkan Azka. Apakah aku terlalu bersikap seolah – olah aku korban dan Azka lah penjahatnya tanpa aku mengetahui apa yang ada di pikiran pria itu selama ini.
"Tutup mulutmu sialan, simpan saja pembelaanmu. Jika sampai orang suruhanku menemukan fakta seperti yang Davina katakan. Kau akan tau akibatnya, kau mencari masalah dengan orang yang salah tuan Kulkov," ujar Jackob sebelum mengakhiri sambungan teleponnya. Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan sebelum kembali meneruskan langkahku untuk menghampirinya.
"Ayo pulang, Rachael sudah menunggu di rumah," ujarku sambil mengusap punggungnya dengan lembut, mencoba untuk mengurangi ketegangannya.
Jackob menoleh, nampak terkejut untuk beberapa saat namun tak lama kemudian ekspresinya kembali normal, seperti tidak terjadi apa - apa.
"Aku bayar dulu, kau tunggu dimobil saja. Di sini panas."
Aku mengangguk mengerti, kembali melangkahkan kakiku ke mobil dan membiarkan Jackob menyelesaikan urusannya. Begitu sampai di mobil, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Azka Kulkov.
Aku menimang sejenak, haruskah ku angkat atau ku abaikan saja?
"Angkat saja," gumam Jackob sebelum mengecup kepalaku kemudian menutup pintu mobil yang ada di sampingku.
"Tidak ada lagi yang perlu kami bicarakan Jack," ujarku sambil menatapnya yang kini sudah duduk di samping ku, di bangku kemudi.
Jackob menghembuskan napas panjang kemudian meraih jemariku yang saling meremas, salah satu kebiasaan ketika aku sedang gusar. "Kalian perlu bicara Davina, kalian perlu menyelesaikan semuanya sebelum kita benar – benar menikah. Aku tidak ingin ada bayang – bayang Azka di pernikahan kita, kau tau maksudku kan?"
Aku mengangguk mengerti, ku gigit bibir bawahku dengan gelisah. "Aku hanya takut Jack," gumamku saat pria itu hendak menjalankan mobilnya.
Lagi – lagi Jackob menoleh ke arahku, sebelah alisnya terangkat. "Kau takut kau akan berubah pikiran dan membatalkan rencana pernikahan kita?"
Aku diam, tidak berani membantah ataupun mengiyakan pertanyaannya. Karena memang pada dasarnya aku tidak tau ketakutan macam apa yang saat ini tengah bersarang di benakku.
"Aku tau kau Davina, aku mengenalmu luar dalam kalau kau lupa. Dan aku percaya padamu. Kalaupun nanti setelah kau bertemu dengan Azka kau berubah pikiran dan ingin membatalkan semuanya. Aku akan terima, tapi satu hal yang harus kau tau. Aku tidak akan pernah mengubah keputusanku untuk menikahimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN SCANDAL
RomanceSebagian bab di Private secara acak **** Satu hal yang aku tau, jika satu - satunya sumber kebahagiaanku adalah hidup bersama Azka. Pria yang berhasil menjungkir balikkan duniaku hanya karena sentuhannya yang memabukkan. Sentuhan yang selalu me...