***
Tujuh tahun sudah berlalu tapi semuanya masih sama.
Melihat bagaimana caranya untuk tersenyum, bagaimana sorot matanya menatap sesuatu yang menarik perhatiannya, bagaimana caranya dalam membawa diri bahkan suaranya dan cara bicaranya pun masih sama seperti tujuh tahun silam dan tak berubah sedikitpun.
Aku tahu aku terlihat menyedihkan sekarang, saat aku masih terpaku dan tak mampu beranjak dari kenangan indah yang pernah kami rajut bersama. Saat aku terlalu sibuk bersembunyi seperti pengecut dengan dalih pekerjaan, wanita itu justru sudah bahagia bersama keluarga kecilnya. Dan melihat itu semua membuatku iri setengah mati. Harusnya semua itu milikku! Senyum itu, binar bahagia itu hanya ditujukan kepadaku bukan ke pria lain. Seharusnya semua yang nampak indah itu milikku, tapi nyatanya semua itu milik pria lain.
Dalam benakku, aku mulai berandai. Andai saja delapan tahun yang lalu aku tidak melakukan kesalahan besar dengan menyembunyikan keberadaan William dan mengakui semua kesalahanku kepadanya. Andai saja aku tidak terlalu meninggikan gengsi dan harga diriku untuk tidak menunjukkan perasaanku padanya. Andai saja aku bisa menemukan keberadaan Rachael tanpa ada campur tangan Jackob Adams. Andai saja tujuh tahun silam aku menjelaskan lebih dulu tentang apa yang terjadi di German sebelum membereskan semua berita tidak benar yang sengaja diciptakan oleh Gisela dan ibuku. Andaikan aku tahu lebih cepat tentang keberadaan anak kami, mungkin semua tidak akan menjadi seperti ini. Mungkin saat ini akulah yang menjadi pendamping hidupnya.
Tapi seberapa besar penyesalan yang kumiliki aku sadar itu tak akan pernah mampu mengubah takdir. Takdir bahwa aku telah kehilangan separuh hatiku, kehilangan Davina Camelia Sanders wanita pertama yang mampu memporak porandakan duniaku.
"Kau... apa kabar Ka?" sebuah pertanyaan keluar dari bibir tipisnya, menarikku keluar dari lamunan.
Aku tersenyum canggung hampir meringis malah karena tidak tahu harus menjawab apa. Haruskah aku menjawab 'Menurutmu bagaimana setelah kau tinggalkan tujuh tahun yang lalu?' atau 'Masih menyedihkan karena kau campakkan tujuh tahun yang lalu'
Tidak. Aku tidak akan sekejam itu padanya. Selain bisa menyakiti perasaannya, itu bisa membuat diriku tampak begitu menyedihkan. Dan itu adalah hal terakhir yang ku inginkan. Toh meskipun enggan mengakui, tapi aku sadar kalau perpisahan kami dahulu juga tak lepas dari andilku. Tak adil rasanya jika aku meletakkan semua kesalahan pada Davina. Jadi dengan senyum simpul dibibirku, aku menjawab, "Aku baik."
Davina mengangguk – anggukan kepalanya kemudian meraih gelas minumannya dan meneguknya perlahan.
"Kau apa kabar Dav?" aku balik bertanya, mengusir kecanggungan.
"Aku juga baik."
Aku mengangguk kecil dan lima menit kemudian suasana kembali canggung, canggung yang tidak mengenakkan. Aku benci situasi ini tapi aku juga tidak tau harus melakukan apa. Otakku mendadak merasa begitu kosong hingga tidak tau apa yang harus kami bicarakan.
"Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Sekitar tujuh tahunan mungkin?" tanya Davina saat aku masih sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri.
Aku langsung mengangguk merespon pertanyaannya. "Ya kurang lebihnya sekitar tujuh tahun," jawabku sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana ketika benda pipih itu bergetar pelan, pertanda panggilan masuk. "Sebentar Dav," kataku setelah menggeser tombol hijau yang tertera diatas layar ponselku.
"Kenapa Norah?" tanyaku ketika panggilan telepon kami terhubung.
"Hari ini ada yang bisa menggantikan saya menjemput William tidak pak? Karena jam dua saya harus bertemu dengan dokter Andreas."
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN SCANDAL
RomanceSebagian bab di Private secara acak **** Satu hal yang aku tau, jika satu - satunya sumber kebahagiaanku adalah hidup bersama Azka. Pria yang berhasil menjungkir balikkan duniaku hanya karena sentuhannya yang memabukkan. Sentuhan yang selalu me...