***
Ini sudah benar dan ini sudah tepat, seperti itulah hasil pemikiranku selama beberapa hari terakhir. Aku sadar betul semuanya sudah tidak lagi sama, sekarang bukan lagi hanya tentang aku dan Azka saja melainkan saat ini sudah ada Rachael dan William diantara kami. Terlalu egois rasanya kalau kami ngotot untuk tetap bersama dan mengorbankan impian anak – anak kami untuk memiliki keluarga utuh seperti keluarga yang lainnya. Terlepas dari berita pertunangan Azka dan Gisela Sarapova yang sempat memanas di media Eropa beberapa minggu yang lalu, perpisahaan adalah jalan terbaik untuk kami semua.
"Aku akan segera mengambil barang – barangku yang masih ada di tempatmu," kataku sebelum melangkah masuk kedalam ruang ICU. Meninggalkan Azka bersama semua kenangan, impian dan harapan kami yang pernah kami rangkai bersama.
Untuk yang terakhir kali, aku menolehkan kepalaku ke belakang berharap bisa menatap wajah pria yang ku cintai selama dua tahun ini namun yang kudapat justru rasa kecewa saat tidak mendapati Azka di tempat terakhir aku meninggalkannya. Ya tuhan semudah itukah dia mengakhiri apapun yang pernah terjalin diantara kami? kenapa aku harus merasakan rasa sakit di saat aku benar – benar ingin membiarkannya pergi.
"Kenapa Dav?"
Aku menghapus air mata yang entah sejak kapan keluar dari mataku sebelum membalikkan badan untuk menatap Naraya yang saat ini berdiri beberapa meter dariku, menatapku dengan kening berkerut.
"Kau sudah mau pulang?" tanyaku saat mendapati Naraya sudah siap dengan tas di tangannya.
"Azka barusan telepon, menunggu di parkiran katanya."
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Tak lama kemudian omma Luce bergabung bersama dengan kami.
"Non Camel tidak papa kami tinggal?"
Sekali lagi aku mengangguk kecil. "Tidak papa omma, sebentar lagi Jackob datang kok," jawabku tidak sepenuhnya yakin pada jawabanku sendiri.
"Ya sudah kami pulang dulu, kabari kalau ada apa – apa," kata Naraya yang ku jawab hanya dengan anggukan kepala. Setelah memastikan mereka berdua meninggalkan ruang tunggu ICU aku bergegas masuk ke dalam ruangan Rachael, melihat kondisi malaikat kecilku.
Dua jam kemudian ketika aku keluar dari ruang ICU setelah memastikan kondisi Rachael baik – baik saja, aku mendapati Jackob sedang mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruang tunggu dengan napas terengah – enggah persis seperti habis lari maraton. Matanya nyalang menatap apapun yang tertangkap oleh penglihatannya, hingga saat jarak di antara kami hanya tinggal beberapa meter, dia meringsek ke arahku kemudian mengenggam lengan tanganku dengan sangat kuat.
"Kenapa ponselmu tidak bisa di hubungi?"
Aku membuang pandanganku, mencoba untuk mengabaikan keberadaannya.
"Lepaskan tanganku," kataku sedatar mungkin.
Bukannya melepaskan, dia justru mempererat cekalan tangannya di tanganku. Membuatku tanpa sadar meringis menahan sakit. "Jawab aku Camelia."
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar, mencoba sebaik mungkin untuk menahan emosiku agar tidak melayangkan bogem mentah ke wajah tampannya yang nampak memuakkan di mataku.
"Aku perlu berbicara dengan suster, bisakah kau menyingkir dari hadapanku Jack?"
Ketika pada akhirnya dia melepaskan cekalan tangannya di tanganku, aku melangkah ke meja suster yang berada di dekat ruang ICU. Berbicara pada salah satu suster disana untuk menitipkan Rachael karena aku ada perlu sebentar.
PLAKKKKK
Sebuah tamparan keras aku layangkan tepat di pipi kanan Jackob, membuat pria itu terhuyung kebelakang karena posisinya yang belum siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN SCANDAL
RomanceSebagian bab di Private secara acak **** Satu hal yang aku tau, jika satu - satunya sumber kebahagiaanku adalah hidup bersama Azka. Pria yang berhasil menjungkir balikkan duniaku hanya karena sentuhannya yang memabukkan. Sentuhan yang selalu me...